Sering Dikritik, OJK Usul PP Pungutan Direvisi
Berita

Sering Dikritik, OJK Usul PP Pungutan Direvisi

Ketua Dewan Komisioner OJK dikabarkan telah mengirim surat kepada Menteri Keuangan terkait usulan ini.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Gedung OJK. Foto: RES
Gedung OJK. Foto: RES
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengusulkan agar Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK direvisi. Hal ini didasari banyaknya kritik yang masuk ke OJK terkait pungutan. Bahkan, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad dikabarkan telah menyurati Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada 5 Desember tentang usulan revisi ini. OJK juga berharap pelaku industri jasa keuangan diberi kesempatan memberi masukan terkait revisi PP.

Masukan dari pelaku tersebut dilakukan melalui rule making rule sebagaimana yang berlaku di OJK. "Pelaku industri jasa keuangan akan dilibatkan untuk memberi masukan dalam proses penyusunan amandemen tersebut," kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto di Jakarta, Rabu (24/12).

Menurutnya, keberadaan PP Pungutan merupakan amanat dari UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam UU tersebut, terdapat kewajiban bagi pelaku industri jasa keuangan yang diatur dan diawasi OJK untuk membayar pungutan. Hasil pungutan tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan operasional OJK.

Rahmat mengatakan, pendanaan kegiatan operasional OJK yang bersumber dari pungutan dilakukan dengan konsep recycling atau pengembalian pungutan kepada industri dengan nilai tambah. Misalnya, dalam bentuk pengaturan dan pengawasan yang lebih baik dan pengembangan kapasitas industri untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

"Dalam rangka recycling, OJK saat ini sedang membangun pusat pelayanan informasi nasabah keuangan/debitur dan industri agar masyarakat dapat mengakses data atau informasi tentang profil nasabah keuangan/debitur bank tanpa biaya," tutur Rahmat.

Ia tak menampik keberadaan pungutan tersebut dapat menambah beban biaya operasional bagi industri keuangan. Berdasarkan perhitungan OJK, pungutan bisa menambah beban rata-rata 0,01 persen dari total biaya operasional. Meski begitu, manfaat bagi industri dan tingkat keuntungan perbankan Indonesia rata-rata masih jauh lebih tinggi dibanding perbankan di kawasan ASEAN.

"Dengan ada amandemen terhadap PP Pungutan, diharapkan pungutan ke industri keuangan dilaksanakan in the best interest of the industry dengan tetap menjaga sustainability APBN tanpa mengganggu operasi OJK," kata Rahmat.

Kendati demikian, kata Rahmat, praktik pungutan seperti ini juga kerap dilakukan oleh OJK di negara-negara lain. Bahkan, UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal telah lebih dahulu menerapkan praktik pungutan seperti ini. Dalam UU tersebut diwajibkan pembayaran pungutan kepada pelaku pasar modal dan Self Regulatory Organization (SRO).

Seperti diketahui, kritikan mengenai pungutan ini telah dilontarkan sejumlah kalangan. Tak tanggung-tanggung, kritikan tersebut berujung ke uji materi baik ke Mahkamah Konstitusi (MK) maupun ke Mahkamah Agung (MA). Selain mempersoalkan fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan OJK, Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB) juga menguji Pasal 37 UU OJK yang mengggatur mengenai pungutan ke MK.

Sedangkan uji materi ke MA, telah dilakukan oleh sejumlah profesi penunjang pasar modal. Para pemohon uji materi ini bukan hanya dari asosiasi penunjang pasar modal seperti Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) dan Ikatan Notaris Indonesia (INI) semata. Tapi juga terdapat pemohon yang mewakili kantor akuntan publik hingga perorangan.

Sebelumnya, Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) juga menawarkan tiga solusi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono mengatakan, ketiga solusi tersebut ditawarkan sebagai jalan tengah sebelum MK memutuskan perkara ini.

"Kami tidak bermaksud mempengaruhi keputusan MK, tapi ada tiga solusi yang netral dan tidak memihak manapun," kata Sigit.

Pertama, Perbanas mengusulkan agar institusi OJK tetap ada dan menjalankan tugas serta fungsinya sesuai UU. Hanya saja, dalam usulan ini, Perbanas meminta agar OJK tidak melakukan pungutan kepada seluruh pelaku jasa keuangan. Dalam solusi ini, OJK hanya mengandalkan anggaran dari APBN.

Kedua, Perbanas mengusulkan agar OJK tetap ada, namun jika anggaran hanya melalui APBN dirasa berat, diusulkan agar pengaturan dan pengawasan sektor perbankan dikembalikan ke Bank Indonesia (BI). Sedangkan solusi ketiga, Perbanas mengusulkan OJK tetap ada, tetap melaksanakan pungutan, namun perlu dilakukan revisi sejumlah pasal di UU OJK.
Tags:

Berita Terkait