Maksimalkan UU Tipikor dan UU TPPU untuk Jerat Mafia Lingkungan Hidup
Berita

Maksimalkan UU Tipikor dan UU TPPU untuk Jerat Mafia Lingkungan Hidup

Untuk memudahkan penjeratan mafia lingkungan hidup dibutuhkan koordinasi antar instansi.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: Ilustrasi (Sgp)
Foto: Ilustrasi (Sgp)
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo menegaskan, mafia-mafia yang bermain di sektor lingkungan hidup harus segera dikenakan jerat hukum. Ia mengatakan, seharusnya jeratan yang ditimpakan itu tidak hanya berdasarkan pada UU sektoral, tetapi juga berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Jika tidak, kasus-kasus lingkungan hidup akan sulit dituntaskan.

"Kalau misalnya tidak, saya rasa akan berat untuk menuntaskan semua kasus-lingkungan hidup ini," kata Henri dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (23/12).

Henri menambahkan, untuk memudahkan penjeratan mafia lingkungan hidup dibutuhkan koordinasi antar instansi. Untuk itu, ia melihat saat ini dibutuhkan pembentukan satuan tugas (satgas) anti-mafia lingkungan hidup. Pasalnya, Henri mengingatkan bahwa permasalahan lingkungan hidup bukanlah masalah yang sederhana. Selain itu, kasus-kasus dalam ranah lingkungan hidup tidak bisa didekati secara konvenvensional.

"Harus dilakukan pendekatan secara komprehensif, untuk menjerat pelaku intelektual dan mafianya gitu," tandas Henri.

Henri mengatakan, pembentukan satgas itu menjadi satu pekerjaan rumah yang cukup mendesak untuk ditunaikan pemerintahan Jokowi-JK. Menurut Henri, pembentukan satgas itu bisa menjadi satu cara Jokowi menerjemahkan bagaimana secara kelembagaan ada agenda pemberantasan mafia sumber daya alam. Sebaliknya, jika hal itu tidak dilaksanakan, Henri khawatir nantinya pemerintah akan kesulitan dalam upaya menyelesaikan kasus lingkungan hidup.

Ia mengkritisi, selama ini pemerintah belum mampu membawa kejelasan terkait arah pengelolan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Henri mengatakan, pemerintahan Jokowi-JK yang baru seumur jagung juga belum bisa diharapkan menunjukan arah itu secara politik. Akibatnya, pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia pun hingga kini masih jauh dari harapan.

"Kami melihat, tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam ini hasilnya belum begitu memuaskan. Ini pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh Jokowj-JK," tuturnya.

Henri memaparkan, ada beberapa faktor yang membuat hal itu terjadi. Pertama, pemerintah belum sungguh-sungguh mengimplementasikan keterbukaan informasi  di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam. Padahal, jelas-jelas itu merupakan mandat dari UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Kedua, Henri melihat urusan moratorium izin kehutanan turut memperburuk pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam ini. Henri menilai, penuntasan agenda moratorium izin kehutanan dan nota kesepakatan bersama (NKB) berjalan sangat lamban. Hal ini membuat pemerintah menjadi kian tidak pro aktif.

Faktor lainnya adalah kendala di sektor legislasi dan regulasi. Ia menuturkan bahwa sepanjang tahun 2014 ini legislasi maupun regulasi yang diterbitkan di bidang lingkungan hidup maupun sumber daya alam sangat terbatas. Akibatnya, tak ada kejelasan hukum.

"Dari sisi legislasi dan regulasi lingkungan hidup dan sumber daya alam yang di tahun 2014 ini, tidak ada kejelasan,” keluhnya.

Ketidakjelasan ini, lanjut Henri, membuktikan bahwa isu-isu penting terkait lingkungan hidup dan sumber daya alam belum terarah. Padahal, banyak aturan yang menunggu untuk segera diperbarui. Ia menyebut, agenda yang sudah mengantri itu adalah revisi UU Kehutanan, RUU PSDA, RUU Perlindungan Keanekaragaman Hayati, dan Revisi UU Migas.
Tags: