Tax Heaven Countries Mulai Disasar
Utama

Tax Heaven Countries Mulai Disasar

Ditjen Pajak punya payung hukum untuk menelisik kekayaan Wajib Pajak WNI di beberapa negara surga penghindaran pajak. Menjalankannya bukan perkara gampang.

Oleh:
FNH/M-22/MYS
Bacaan 2 Menit
Foto: www.wapt.com
Foto: www.wapt.com
Anda Wajib Pajak Warga Negara Indonesia (WNI) yang selama ini menyimpan kekayaan di Jersey, Guernsey, Isle of Man, atau Bermuda untuk menghindari pajak? Atau di pulau-pulau lain yang selama ini dikenal sebagai surga penghindaran pajak, tax heaven countries? Mungkin, ruang gerak Anda semakin sempit.

Setidaknya empat Peraturan Presiden (Perpres) yang terbit menjelang pergantian pemerintahan  SBY ke Jokowi mengkonfirmasi upaya menyasar para pelaku penghindaran pajak. Perpres No. 91 Tahun 2014 untuk wilayah Jersey, Perpres No. 92 Tahun 2014 untuk Guernsey, Perpres No. 93 Tahun 2014 untuk Isle of Man, dan Perpres No. 95 untuk pemerintah Bermuda.

Perpres ini merujuk pada Pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Keempat Perpres ini meratifikasi persetujuan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah daerah-daerah tersebut untuk pertukaran informasi berkenaan dengan keperluan perpajakan.

Pengamat perpajakan Darussalam dan Roni Bako mengatakan pertukaran informasi perpajakan itu merupakan konsekuensi yang harus ditempuh sejumlah negara anggota OECD (kerjasama negara-negara untuk pembangunan ekonomi) dan G-20. “Kesepakatan G-20 untuk saling transparan dan bertukar informasi terkait data perpajakan,” kata Darussalam kepada hukumonline.

Roni Bako mengatakan kewajiban serupa berlaku di negara-negara OECD, sehingga ratifikasi tak terlalu penting. “Anggota OECD otomatis wajib melakukan pertukaran data,” ujarnya.

Persoalannya, apakah daerah, kepulauan, atau pemerintah otonom yang disebut tax heaven countries itu masuk G-20 atau OECD. Jika tidak, Indonesia tak mudah menyasar pengusaha yang menyembunyikan asetnya di sana.

Peneliti ICW, Firdaus Ilyas, mengapresiasi langkah pemerintah itu sebagai langkah yang ditunggu-tunggu realisasinya. Ia mengatakan Perpres tersebut bisa menjadi payung hukum bagi Kementerian Keuangan untuk mengoptimalkan pengejaran pelaku usaha yang menghindari pajak, khususnya di negara-negara surga penghindaran pajak. Kalau selama ini Ditjen Pajak kesulitan karena tak ada perjanjian, maka ratifikasi persetujuan bisa menjadi pintu masuk. “Ini salah satu pintu awal untuk masuk,” ujarnya.

Untuk masuk lebih dalam menyasar entitas bisnis atau pemerintahan di Jersey, Bermuda, Isle of Man, dan Guernsey bukan perkara gampang. Apalagi di kepulauan yang belum punya perjanjian sejenis dengan Indonesia. Proses pembuatan perjanjian tidak mudah. Dengan Guernsey misalnya, persetujuan pemerintah Indonesia dan pemerintah Guernsey baru diteken pada 27 April 2011, dan ratifikasi persetujuan itu terbit tiga tahun kemudian.

Firdaus Ilyas menyarankan agar pemerintah Indonesia benar-benar mempersiapkan kebutuhan data dan informasi yang diinginkan saat hendak menyasar pelaku penghindaran pajak. Jangan sampai niat meningkatkan pendapat pajak itu terganjal hal-hal sepele. Dengan demikian, Indonesia juga sudah menyiapkan modus atau pola yang lazim dipakai untuk menghindari pajak. Adalah tugas Ditjen Pajak untuk melakukan analisis kebutuhan itu. “Jadi, harus diterjemahkan ke dalam bentuk yang detail tentunya,” kata Firdaus.

Roni Bako juga menggarisbawahi pentingnya hal-hal detil. Tax treaty, kata dia, harus dibuat lebih spefisik agar klausula-klausulanya tak multitafsir lagi di lapangan. Selain itu, selama ini Indonesia cenderung tak memaksimalkan data yang dimiliki instansi lain di luar Ditjen Pajak. Koordinasi jadi masalah. Misalnya, imigrasi punya data siapa saja pengusaha atau pejabat Indonesia yang bepergian ke tax heaven countries tersebut. Kementerian Pariwisata, kata Roni, mungkin juga punya data plesiran orang-orang Indonesia. Tinggal dianalisis untuk kebutuhan perpajakan.

Namun pemerintah tidak boleh gegabah, langsung mengecap semua dana WNI yang ‘diparkir’ di tax heaven countries sebagai bentuk penghindaran. Darussalam mengatakan perlu analisis lebih dahulu. “Menurut saya harus dianalisis dulu apakah dana itu memang seharusnya menjadi penghasilan yang dikenakan pajak di Indonesia,” ujar pengamat hukum perpajakan itu.
Tags:

Berita Terkait