Pemerintah Diminta Tidak Intervensi Mahkamah Agung
Berita

Pemerintah Diminta Tidak Intervensi Mahkamah Agung

MA dinilai terjebak pencitraan yang dibangun pemerintahan Jokowi.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara. Foto: SGP
Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara. Foto: SGP
Terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana disebabkan kentalnya intervensi pemerintahan Joko Widodo terhadap Mahkamah Agung. Atas dasar itulah pemerintah diminta tak melakukan intervensi terhadap badan peradilan tertinggi itu.

Demikian disampaikan Ketua Badan Pengurus Harian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahyu, dalam siaran persnya kepada hukumonline, Senin (5/1). “ICJR menduga bahwa SEMA No.7 Tahun 2014 lahir karena intervensi Pemerintah melalui Menkopulhukam dan Jaksa Agung ke Mahkamah Agung terkait dengan pembatasan Peninjauan Kembali dalam KUHAP,” ujarnya.

Dikatakan Anggara, pernyataan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Tedjo Edhi Purdjiatno, menyatakan SEMA dibuat tanpa melibatkan Kemenkompolhukam dan Jaksa Agung. Pernyataan tersebut mengisyaratkan SEMA No.7 Tahun 20014 akan dilakukan evaluasi.

Sementara Kejaksaan Agung berupaya mengalihkan tanggungjawab melakukan kewajiban ekesekusi terpidana mati. Soalnya, telah dibukanya pintu pengajuan PK tanpa batasan kepada MA melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan PK dapat diajukan lebih dari satu kali.

Pola intervensi yang dilakukan menteri dalam kabinet Presiden Joko Widodo merupakan modus membatasi kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Anggara menilai intervensi terhadap kekuasaan kehakiman merupakan perbuatan yang diharamkan dalam UUD 1945. Menurutnya, intervensi pemerintah sebagai upaya pengalihan tanggung jawab eksekusi mati kepada MA. Ironisnya, MA terjebak dan membuka ruang dengan melakukan pembatasan pengajuan PK.

Lebih jauh Anggara berpendapat, fungsi lembaga peradilan yakni menjaga hak asasi manusia. Bukan sebaliknya meniadakan hak asasi manusia dalam mencari kebenaran. Nah, MA dapat menjalankan fungsi tersebut sepanjang pemerintah tak melakukan intervensi. ICJR pun mendesak agar MA segera mencabut SEMA No.7 Tahun 2014. Soalnya, pemberlakukan SEMA tersebut menabrak konstitusi.

“Apabila MA tidak mencabut SEMA No.7 Tahun 2014, ICJR akan mengambil langkah-langkah sesuai prosedur hukum yang berlaku untuk membatalkan keberlakuan SEMA No.7 Tahun 2014 ini,” ujarnya.

Terpisah, Direktur Human Right Working Group (HRWG), Rafendi Djamin, sependapat dengan Anggara. Menurutnya, arahan langsung Presiden Joko Widodo yang menolak grasi dengan melakukan eksekusi sebagai intervensi secara halus terhadap Mahkamah Agung. Padahal, pengajuan PK saat itu dapat dilakukan lebih dari satu kali. Dengan begitu, Kejaksaan Agung sebagai eksekutor seolah terganjal lantaran terpidana masih dapat melakukan upaya hukum PK selanjutnya.

Alih-alih mengisi kekosongan hukum lantaran tidak ada kepastian hukum, gayung bersambut. MA pun menerbitkan SEMA No.7 Tahun 2014. Padahal, semestinya MA melaksanakan putusan MK dengan menerima pengajuan PK dari terpidana di tingkat Pengadilan Negeri (PN). “Tetapi MA memberikan SEMA dan memberikan jalan lurus untuk eksekusi. Ini politik hukum atau politik HAM. Kepastian hukum itu di bawah keadilan hukum. Arahan direct Jokowi berdampak pada MA yang ikut untuk pencitraan,” ujarnya.

Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Hendardi berpandangan kepastian hukum memang diletakan dalam penegakan hukum. Namun keadilan hukum mesti lebih dikedepankan. Ia berpandangan intervensi terhadap MA tak ubahnya sebagai upaya untuk mendongkel pencitraan pemerintahan Jokowi dalam penegakan hukum.

Ia mensinyalir tak saja Jokowi yang tak paham pengetahuan tentang hukuman mati, tetapi juga orang di sekelilingnya. “Memang apa yang dilakukan itu hanya pencitraan. Jokowi tidak punya pengetahuan cukup tentang hukuman mati. Juga orang disekitarnya tidak paham hukuman mati,” katanya.

Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, mengatakan pemerintah semestinya haram melakukan intervensi terhadap lembaga peradilan. Sejalan dengan itu, lembaga peradilan selain mesti merdeka, juga patuh terhadap putusan MK yang telah menjadi norma baru.

“Ini berbahaya dengan adanya intervensi pemerintah. Dalam kasus ini MA harus mengacu pada putusan MK, dan tidak dikendalikan pemerintah. Dengan adanya putusan MK, MA harus hati-hati,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait