MK Nilai MA Langgar Konsepsi Negara Hukum
Utama

MK Nilai MA Langgar Konsepsi Negara Hukum

MA menampik disebut tidak patuh, karena SEMA hanya pedoman.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua MK Arief Hidayat (kiri). Foto: RES
Wakil Ketua MK Arief Hidayat (kiri). Foto: RES
Mahkamah Konstitusi (MK) menganggap tindakan Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Peninjauan Kembali Hanya Satu Kali sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Langkah MA menerbitkan SEMA itu juga dinilai sebagai pelanggaran konsepsi negara hukum yang berpuncak pada konstitusi sebagai hukum dasar.     

“Secara lebih tegas bisa MA dikatakan ketidakpatuhan terhadap putusan MK merupakan disobedience atau pembangkangan terhadap putusan MK. Kalau itu terjadi maka itu adalah pelanggaran konstitusi,” ujar Wakil Ketua MK, Arief Hidayat saat penyampaian Refleksi Kinerja MK 2014 di Gedung MK, Senin (5/1).

Arief mengatakan MK merupakan lembaga penafsir konstitusi tertinggi (the sole interpreter of constitution) yang setiap putusannya bersifat final dan mengikat. Dengan kata lain, menurutnya, setiap putusan MK tidak boleh ditafsirkan lembaga lain atas dasar kewenangannya masing-masing.

“Kalau itu yang terjadi, kekuasaan negara atas dasar hukum di Indonesia tidak dijalankan menurut dasar konstitusi atau UUD 1945,” katanya.

Lebih jauh, Arief menerangkan terbitnya putusan MK No 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang berimplikasi PK dapat diajukan berkali-kali didasarkan pada  pada pertimbangan dan menjunjung tinggi asas kehati-hatian dalam memutus perkara. Sebab, dalam hukum pidana dikenal prinsip lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah (in dubio proreo).

“Demi memberi keadilan yang substansial, PK dapat diajukan berkali-kali jika ditemukan betul-betul novum (bukti baru) yang signifikan,” dalihnya.

Dia tak menampik terkesan putusan MK itu tak memperhatikan asas kepastian hukum. Namun, persoalannya asas kepastian hukum itu untuk siapa? Soalnya, posisi negara dalam hal ini pengadilan (MA) dan kejaksaan selaku eksekutor seharusnya memandang posisinya lebih kuat ketimbang terdakwa/terpidana. Karenanya, dirasa perlu KUHAP menjamin kepastian hukum yang adil bagi terpidana.

“Kalau memang ditemukan bukti baru yang betul-betul baru, maka bisa dilakukan PK. Ini pun hanya berlaku di bidang hukum pidana, bukan hukum yang lain,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua MK Hamdan Zoelva menambahkan putusan MK menghapus norma Pasal 268 ayat (3) KUHAP terkait pengajuan PK hanya sekali khusus terhadap perkara pidana. Dia menyadari MK tidak sekaligus membatalkan norma pembatasan PK dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA. Sebab, selain PK perkara pidana, dikenal PK untuk perkara perdata, TUN, dan Agama.

“Jadi norma di dua undang-undang (UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA) bersifat umum, tetapi putusan MK itu khusus PK perkara pidana sudah dinyatakan inkonstitusional,” tegasnya.

Menurutnya, adanya ketentuan PK berkali-kali seharusnya tidak perlu mempertanyakan dimana letak asas kepastian hukum. Baginya, siapapun yang pernah belajar hukum seharusnya mengetahui putusan tingkat kasasi adalah putusan yang berkekuatan hukum tetap dan pasti. Setelah adanya putusan kasasi, jaksa bisa langsung mengeksekusi karena pengajuan PK tidak bisa menghalangi eksekusi.

“Jadi, kalau tidak bisa dilaksanakan karena adanya putusan MK yang membolehkan PK bisa diajukan berkali-kali itu merupakan cara berpikir yang tidak benar,” dalihnya. “Jadi sekali lagi putusan MK itu adalah putusan yang menurut konstitusi. Ketaatan terhadap putusan MK termasuk kesadaran yang baik dalam berkonstitusi.”

Terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan SEMA itu bukanlah bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK. SEMA itu diterbitkan sebagai guidance (pedoman) bagi para hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Selanjutnya, terserah hakim tingkat pertama yang akan memutus apakah akan meneruskan atau tidak pengajuan PK-nya ke MA, dan hakim agung yang akan memutuskan demi keadilan dan kepastian hukum.   

“Sehingga, kita meminta agar SEMA itu tidak membatasi ruang gerak hakim untuk memutuskan perkara sesuai dengan keyakinannya masing-masing,” tegasnya.

Sebelumnya, MA menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 tertanggal 31 Desember 2014 yang membatasi PK hanya sekali. SEMA itu sekaligus mengesampingkan putusan MK bernomor No 34/PUU-XI/2013 yang telah membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi pengajuan PK hanya sekali dalam perkara pidana. MA menganggap putusan MK itu dianggap sebagai putusan nonexecutable alias tidak bisa diimplementasikan dalam praktik.

Soalnya, Pasal 24 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2009 tentang MA membatasi PK hanya sekali. MA beralasan jika PK boleh diajukan berkali-kali dikhawatirkan instrumen hukum itu dijadikan ‘senjata’ bagi para gembong narkoba menghindari eksekusi mati karena mengajukan PK yang kedua setelah grasinya ditolak presiden.
Tags:

Berita Terkait