Pemutaran film Senyap di berbagai daerah, dikatakan Khoiron, didukung penuh Komnas HAM dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Pemutaran film tersebut pada 10 November 2014 dihadiri ratusan tokoh masyarakat, politik dan perfilman. Ia mengecam tindakan pembubaran pemutaran film Senyap di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Malang.
Harusnya, Khoiron melanjutnya, semua pihak mendukung pemutaran film Senyap. Aparat kepolisian dan militer perlu melindungi agar pemutaran film itu berjalan lancar, bukan malah mendukung ormas yang melakukan pembubaran. Ironisnya, LSF ikut merestui pembubaran pemutaran film itu.
Misalnya, pada 29 Desember 2014 LSF mengirim surat resmi ke Kapolres Kota Malang yang mendukung pelarangan pemutaran film Senyap. Surat tersebut juga dilayangkan kepada Komnas HAM. “LSF menyatakan film Senyap tidak layak diputar secara umum,” tukas Khoiron.
Khoiron menilai tindakan LSF tidak mendukung komitmen pemerintah Jokowi-JK menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagaimana tertulis dalam Nawa Cita. Apalagi, secara resmi Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan mendukung pemutaran film Senyap.
Anggota Komnas HAM sekaligus koordinator tim penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu, Roichatul Aswidah, pemutaran film Senyap di berbagai daerah ditujukan untuk mendorong adanya diskusi di masyarakat tentang sejarah Indonesia. Dengan begitu, masyarakat mengetahui sejarah bangsa dan mendiskusikannya secara dewasa.
Atas dasar tersebut perempuan yang akrab disapa Roi itu mengaku heran kenapa LSF melarang pemutaran film Senyap. Padahal, pemutaran film itu bukan untuk kepentingan komersial tapi sosial yakni sebagai ajang diskusi. “Kami akan tanya LSF kenapa melarang pemutaran film Senyap,” ujarnya.
Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Irawan Karseno, menegaskan pihaknya mendukung pemutaran film Senyap. Baginya, film itu produk kebudayaan yang cerdas dan selaras dengan peraturan perundang-undangan.
Irawan menyesalkan tindakan ormas, aparat kepolisian dan militer yang membubarkan pemutaran film Senyap di beberapa daerah. “Tindakan itu mencerminkan kalau mereka mewarisi pemikiran masa lampau yang ketinggalan zaman. Tragedi 1965 itu jangan dilihat dari aspek politis saja, tapi utamakan sosiologis dan psikologis,” cetusnya.
Bagi Irawan film Senyap patut mendapat ruang untuk diapresiasi, terutama di dalam negeri. Ia menjelaskan di tingkat internasional film Senyap mendapat penghargaan.
Sekretaris Umum DKJ, Alex Sihar, mengingatkan kewenangan LSF untuk menyensor hanya berlaku untuk film komersil. Sementara film Senyap tidak ditujukan untuk kepentingan komersil. Sekalipun ada bagian yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan biasanya LSF akan berdialog dengan pemilik film. Namun, ia heran kenapa LSF tidak melakukan dialog sebelum melarang pemutaran film Senyap. “Dialog itu tidak ada, tapi LSF langsung menerbitkan surat pelarangan,” pungkasnya.