Enam Putusan MK yang Ditunggu di Awal 2015
Refleksi 2014

Enam Putusan MK yang Ditunggu di Awal 2015

Memasuki 2015, MK belum menyelesaikan 80 perkara. Jumlahnya pasti bertambah. Beberapa perkara mendapat perhatian besar, dan putusannya ditunggu banyak pihak.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Hamdan Zoelva mengakhiri karirnya sebagai hakim konstitusi, sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi. Ia tak lagi ikut mengadili pengujian Undang-Undang (PUU), salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) yang diberikan UUD 1945. Saat menyampaikan proyeksi ke depan, Hamdan memperkirakan jumlah permohonan PUU yang masuk akan bertambah.

Sepanjang 2014, MK memutus sebanyak 131 perkara PUU dari 140 perkara yang masuk ditambah perkara sisa yang belum terselesaikan di tahun 2013 sebanyak 71 perkara. Nah, dari sisa perkara itulah hukumonline mencatat beberapa perkara yang ditunggu-tunggu. Selain karena mengundang perdebatan publik dan mungkin agak sensitif, materi yang dimohonkan uji juga bisa mengubah paradigma selama ini jika permohonan dikabulkan. Namun tidak berarti putusan PUU lain tak menarik.

Inilah enam putusan yang ditunggu-tunggu itu berdasarkan pilihan redaksi hukumonline.

1. Putusan Kawin Beda Agama
Permohonan pengujian  Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974  tentang Perkawinan bisa disebut judicial review paling menarik pada 2014. Terutama dari sisi jumlah pihak yang dihadirkan dan perdebatannya di media sosial. Permohonan ini diajukan mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum UI. Pada dasarnya permohonan ini berkaitan dengan perkawinan beda agama. Kasus-kasus kawin beda agama memperlihatkan ada upaya penyelundupan, sebagai akibat Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan.

Isu sensitif ini membuat Mahkamah berinisiatif mengundang sejumlah organisasi keagamaan memberikan pandangan. Ada pula pihak terkait yang mengajukan intervensi. Seperti terungkap di persidangan, silang pendapat sangat seru. Kini tinggal putusan di tangan Sembilan hakim konstitusi.

2. Putusan Usia Nikah Bagi Perempuan
Permohonan ini juga mengenai UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Cuma, yang ini berkaitan dengan PUU Pasal 7 ayat (1) dan (2), khusus mengenai konstitusional batas usia minimal menikah bagi perempuan. Para pemohon meminta batas usia nikah perempuan dinaikkan dari 16 menjadi 18 tahun. PUU ini dimohonkan Dewan Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan Zumrotin. Namun, pada September 2014, Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak memohon pengujian pasal yang sama dengan menambahkan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan. Tercatat sebagai pemohon Indry Oktaviani, Fr Yohana Tantria W, Dini Anitasari Sa’Baniah, Hadiyatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).

Selain meminta pandangan DPR dan Pemerintah, Mahkamah Konstitusi mengundang para pemuka agama, serta ahli. Sidang sudah digelar 8 kali, terakhir digelar 18 Desember 2014. Kini, perkara ini tinggal menunggu putusan dibacakan majelis. Dikabulkan nggak ya?

3.  Wewenang OJK Awasi Perbankan
Pasal UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK)  dipersoalkan Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa (TPKEB). Tim ini menggugat sejumlah aturan mengenai fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan oleh OJK. Pemohon menilai kedua kedua fungsi OJK itu tak diatur dalam konstitusi yang eksesnya mendorong terbentuknya pasar bebas. Permohonan ini bukan hanya ingin meniadakan fungsi pengawasan dan pengatur OJK atas perbankan, tetapi juga pada akhirnya ingin OJK dibubarkan karena tak sesuai konstitusi.

Sejumlah ahli telah diundang untuk memberikan pandangan dan keterangan di dalam sidang. Berdasarkan catatan hukumonline, sudah 8 kali sidang digelar. Jika dikabulkan, dan OJK dibubarkan, hampir pasti peta pengawasan perbankan akan berubah drastis. Apa ya kira-kira putusan MK?

4.  Keabsahan Audit Investigatif
Bolehkah kantor perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di daerah melakukan audit investigatif? Apakah izin dari BPK pusat sesuatu yang wajib sebelum audit investigatif itu dilakukan? Pertanyaan inilah yang akan dijawab lewat putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan pengujian UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. PUU ini diajukan Faisal,  warga negara yang tersangkut kasus korupsi di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Pandangan para ahli di persidangan pada November 2014 lalu memperlihatkan betapa masalah ini harus segera diputus agar tidak menimbulkan persoalan. Putusan MK akan memberikan kepastian bagaimana wewenang dan kedudukan kantor perwakilan BPK untuk melakukan audit investigatif.

5. Periode Tugas Hakim MK
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, baik yang lama maupun revisinya, juga sering diuji. Salah satu masalah yang digugat belakangan adalah periodisasi masa jabatan hakim MK. Seorang warga negara bernama Riyanti mempertanyakan: mengapa masa jabatan hakim MK berbeda dengan hakim agung? Hakim agung bisa menjabat terus sejak diangkat hingga berusia 70 tahun, sedangkan hakim MK punya batas waktu tugas 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Bukankah MK dan MA dua pelaku kekuasaan kehakiman yang sederajat dan diatur dalam konstitusi?

Permohonan ini menarik karena diputus dan diadili hakim-hakim MK padahal substansinya menyangkut kepentingan mereka sendiri. Akankah hakim MK membela kepentingan mereka, kita tunggu saja putusannya.

6. Keabsahan Perppu Pilkada
Begitu DPR dan Pemerintah menyetujui bersama RUU Pilkada menjadi UU, banyak pihak langsung memprotes, termasuk memasukkan PUU ke Mahkamah Konstitusi. Apa sebab? UU Pilkada mengubah rezim pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi oleh DPRD. Masyarakat protes, dan pemerintah mendengar keluhan rakyat. Presiden SBY akhirnya mengeluarkan Perppu Pilkada, yang intinya mencabut UU Pilkada. SBY mengembalikan roh pilkada langsung.

Tetapi ada juga pihak yang kurang setuju Perppu tersebut, lalu mengajukan judicial reviewke Mahkamah Konstitusi. Bagaimana putusannya? Tinggal menunggu kesembilan majelis hakim memutuskan.
Tags:

Berita Terkait