Presiden Diminta Libatkan KPK dan PPATK Pilih Calon Kapolri
Berita

Presiden Diminta Libatkan KPK dan PPATK Pilih Calon Kapolri

Dalam rangka menjawab jejak rekam calon, apakah pernah melakukan tindak pidana korupsi atau sebagainya.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Wacana pergantian orang yang akan mengisi kursi Kapolri kian kencang. Presiden Joko Widodo mesti obyektif dalam memilih berdasarkan integritas, kredibilitas dan jejak rekam bersih calon. Selain itu, Presiden dalam memilih calon Kapolri mesti melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Hal ini disampaikan Wakil Koordinator Badan Pekerja, Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto, di kantornya, Jumat (9/1).

Perlunya melibatkan KPK dalam rangka menjawab jejak rekam calon apakah pernah melakukan tindak pidana korupsi atau sebagainya. Konfirmasi tersebut menjadi penting agar calon Kapolri memiliki moral dan integritas baik. Sedangkan melibatkan PPATK untuk mengkonfirmasi kewajaran transaksi dalam rekening milik calon Kapolri.

“Makanya kita berharap proses pemilihan ini harus sangat hati-hati. Karena Polri dalam pemberantasan korupsi bisa bekerjasama dengan kejaksaan dan KPK,” ujarnya.

Kapolri merupakan jabatan strategis dalam penegakan hukum. Institusi Polri mesti dipimpin oleh orang yang tidak tersandera dengan masa lalu. Misalnya, dugaan kepemilikan rekening gendut yang pernah mencuat pada 2010 silam. Selain itu, calon juga bersih dari kasus pelanggaran hak asasi manusia. Soalnya, banyak aduan masyarakat kepada Komnas HAM terkait dugaan tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polri.

Presiden Jokowi dalam memilih calon Kapolri mendapatkan rekomendasi dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Namun, Presiden sebaiknya tak saja bersandar pada rekomendasi Kompolnas, tapi turut melibatkan KPK, PPATK dan Dirjen Pajak menjadi keharusan dalam rangka mendapatkan calon Kapolri.

“Jokowi harus menelisik, agar tidak seperti penunjukan Jaksa Agung. Kalau tidak dilakukan dengan melibatkan KPK, PPATK, dan Dirjen Pajak, maka kredibilitas Jokowi akan menurun di masyarakat,” ujarnya.

ICW memiliki pengalaman bersengketa dengan Polri terkait informasi publik pada tahun  2010. Saat itu, ICW meminta informasi agar Polri membuka rekening milik sejumlah Pejabat Tinggi (Pati) Polri. Pasalnya, sejumlah Pati Polri itu diduga memiliki ‘rekening gendut’. Sayangnya, Polri terus berkilah. Padahal hal semacam itu sesuai dengan UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Supriyadi Widodo Eddyono, menambahkan Presiden Jokowi mesti teliti dan hati-hati dalam memilih calon Kapolri. Ia berpandangan pemilihan calon Kapolri semestinya tidak berdasarkan politik dagang sapi, namun lebih didasarkan pada aspek integritas, kepemimpinan, rekam jejak, kapasitas, dan komitmen yang kuat dalam mendorong agenda reformasi birokrasi dan anti korupsi.

“Sebaiknya Jokowi tidak memilih figur Kapolri hanya karena dia dianggap berjasa terhadap dirinya selama masa Pilpres maupun titipan partai tertentu,” ujarnya.

Dikatakan Supriyadi, mesti dipastikan Kapolri terpilih nantinya tidak bermasalah, setidaknya tak memiliki cacat masa lalu, sehingga tidak berpotensi menimbulkan masalah. Hal tersebut menjadi penting  agar pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla  tidak terganggung atau tercoreng kredibilitas. Bahkan, tersandera persoalan korupsi, hak asasi manusia, pencucian uang, atau persoalan hukum yang dilakukan oleh Kapolri terpilih nanti.

“Salah memilih figur Kapolri hanya akan merusak  kredibilitas pemerinta tidak saja sesaat namun hingga lima tahun ke depan selama periode pemerintahan Jokowi,” ujarnya.

Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menambahkan, Presiden Jokowi harus membuka diri terhadap masukan dari masyarakat dan media terkait dengan jejak rekam calon. Selain itu, calon Kapolri mesti berkomitmen dan memiliki konsep agar Polri menjadi transparan terhadap masyarakat. Jokowi mesti meminta komitmen calon Kapolri agar menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah kasus penegakan hukum agar dapat diselesaikan.

“Jangan hanya kasus kecil diselesaikan untuk mencari sensasi menutupi kasus besar,” ujarnya.

Tak kalah penting, calon Kapolri mesti berkomitmen untnuk membuat Polri menjadi lebih profesional. Ia berpandangan pemilihan calon Kapolri menjadi pekerjaan berat bagi pemerintahan Jokowi. Pasalnya harapan publik terhadap sosok Kapolri mendatang amatlah besar.

“Kita semua berkepentingan agar calon diselidiki oleh KPK, PPATK, Dirjen Pajak, juga kita butuh pikiran-pikiran calon Kapolri terhadap sejumlah persoalan penegakan hukum, Kamtibmas, dan penuntasan kasus korupsi,” ujarnya.

Kewenangan Presiden
Kapolri Jenderal Sutarman enggan mengomentari terkait wacana pergantian posisinya. Menurutnya, pergantian Kapolri menjadi ranah kewenangan Presiden Jokowi. Ia pun menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi. “Kita serahkan sepenuhnya pada presiden, saya tidak akan komentar apa pun tentang itu,” ujarnya seusai melantik Kapolda Banten dan Papua Barat di Gedung Mabes Polri.

Jenderal polisi bintang empat itu memang memasuki masa pensiun pada Oktober mendatang. Menurutnya, kewenangan presiden untuk mengganti pejabat Kapolri, sekalipun belum memasuki masa pensiun. “Presiden bisa mempercepat, bisa memperlambat. Bisa kapan saja, itu hak presiden,” ujarnya.

Mantan Kapolda Metro Jaya itu lebih jauh berpandangan, calon Kapolri mesti jenderal polisi bintang tiga. Terkait dengan kebiasaan calon Kapolri didasarkan pada angkatan di Akademi Kepolisian (Akpol), bagi Sutarman tak menjadi persoalan. “Saya kira tidak ada lagi urutan angkatan. Kembali lagi itu adalah kewenangan presiden. Tapi dalam undang-undang kita, bahwa calon Kapolri itu adalah bintang tiga,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait