KPK Akan Masukkan Pencabutan Hak Remisi dan PB dalam Rekuisitor
Utama

KPK Akan Masukkan Pencabutan Hak Remisi dan PB dalam Rekuisitor

KPK dapat menggunakan cantelan Pasal 18 ayat (1) huruf d UU Tipikor.

Oleh:
NOVRIEZA RAHMI
Bacaan 2 Menit
Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Foto: RES
Mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Foto: RES
Bak gayung bersambut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menindaklanjuti wacana pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat yang digagas Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Bila sebelumnya pencabutan hak tersebut menjadi kewenangan penuh pemerintah, sekarang penegak hukum dapat ikut memutuskan.

Tentunya, penegak hukum yang dimaksud adalah hakim. Namun, sebelum hakim menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus diawali dengan adanya tuntutan jaksa (rekuisitor). Dalam hal ini, jaksa dapat memasukkan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat dalam surat tuntutan yang mereka ajukan kepada hakim.

Pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat yang dimaksud di sini kurang lebih sama dengan pencabutan hak-hak tertentu yang selama ini dimintakan jaksa KPK kepada majelis hakim. KPK dapat memasukkan pencabutan hak-hak tersebut sebagai pidana tambahan dalam surat tuntutan pidana perkara-perkara korupsi.

Oleh karena itu, KPK berencana untuk mulai menerapkan hal tersebut. KPK akan memasukkan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat dalam surat tuntutan KPK. “KPK akan melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto kepada hukumonline, Jum’at (9/1).

Sebelumnya, Bambang juga sempat menyatakan KPK telah melakukan kajian. “KPK berdasarkan kajian yang dilakukannya serta masukan yang didapat dari para ahli dan Kementerian Hukum dan HAM akan memasukkannya (pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat) dalam tuntutan KPK,” ujarnya.

Dasar KPK memasukkan pencabutan hak remisi dan pembebasan bersyarat dalam surat tuntutan tidak menyimpang dari UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Bambang menjelaskan, penerapannya dapat menggunakan “cantelan” ketentuan pidana tambahan, yaitu pencabutan hak-hak tertentu.

Pasal 18 UU Tipikor
(1) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a.  Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b.  Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c.  Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d.  Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Niatan KPK ini didukung Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti Hukum ICW, Laola Easter mengatakan langkah-langkah progresif ini diperlukan guna menyelesaikan polemik pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk koruptor yang selalu muncul, khususnya saat hari raya keagaman dan kemerdekaan.

Laola berpendapat, selain pidana penjara dan uang pengganti, Kejaksaan dan KPK bisa mengajukan penuntutan pencabutan hak-hak terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Namun, tuntutan itu dapat dikecualikan bagi terpidana yang merupakan justice collaborator (pelaku yang bekerjasamadengan penegak hukum).

“Dasar hukum pencabutan hak ini diatur dalam Pasal 18 ayat (1)huruf d UU Tipikor. Dengan adanya ketentuan pasal tersebut, maka hak napi koruptor, seperti hak remisi dan pembebasan bersyarat bisa dicabut. Bahkan, hak napi koruptor untuk dapat pensiun apabila dia pejabat publik juga bisa dicabut,” tuturnya.

Laola berharap sebaiknya pengadilan juga menerima tuntutan pencabutan hak remisi dan pembebaaan bersyarat untuk koruptor yang diajukan KPK atau Kejaksaan. Ia menilai, langkah progresif tersebut sebagai wujud dukungan bagi pengadilan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi.

Gugat SE Menkumham
Selain itu, Laola meminta Menkumham dan jajaran Dirjen Pemasyarakatan untuk konsisten menjalankan PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor. Artinya, hanya koruptor yang berstatus justice colaborator yang berhak mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat.

Ia juga meminta Menkumham mencabut Surat Edaran Menkumham No.M.HH-04.PK.01.05.06 yang mengatur pemberlakukan PP Nomor 99 Tahun 2012. Surat edaran ini dianggap menjadi biang keladi kesimpangsiuran dan kegaduhan dalam pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk koruptor selama hampir dua tahun terakhir.

Pasalnya, Surat Edaran tersebut masih membuka peluang koruptor untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Oleh karena itu, Laola berharap Presiden JokoWidodo menegur Menkumham untuk tetap berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi dan mendukung langkah-langkahpemberian efek jera.

Laola menegaskan, seharusnya di era Presiden Joko Widodo tidak boleh ada koruptor yang mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, kecuali koruptor yang berstatus justice collaborator. Apabila pemerintah masih membuka peluang koruptor untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat, ICW berencana mengajukan uji materi.

“ICW berikan tenggat waktu 14 hari bagi Menteri Hukum dan HAM untuk mencabut Surat Edaran Menteri Tahun 2013 tersebut. Jika tidak dicabut,maka ICW akan mengambil langkah hukum mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung agar Surat Edaran itu segera dicabut,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait