Kesalahan Berat Masih Dipakai untuk PHK
Berita

Kesalahan Berat Masih Dipakai untuk PHK

Implementasinya masuk tafsir independen hakim PHI.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. Foto: Sgp
Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta. Foto: Sgp
Dalam hubungan industrial, tidak jarang pemangku kepentingan dihadapkan pada situasi yang kurang menguntungkan. Salah satunya pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK adalah momok bagi buruh, sekaligus pilihan sulit bagi perusahaan.

Namun, PHK bisa menimpa siapa saja. Salah satunya dialami Sutrisno. Karyawan PT Tumbakmas Naga Sakti di-PHK oleh perusahaannya karena dianggap melakukan pelanggaran berat. Karyawan bidang sales ini  dituduh menggelapkan uang perusahaan sebesar Rp3,2 juta.

Uang itu seyogianya adalah hasil penjualan yang telat dibayar. Sutrisno mengklaim sudah melunasi tunggakan dengan menyetorkan uang tersebut kepada kasir di perusahaan. Merasa sudah membayar, Sutrisno menilai seharusnya tidak ada lagi persoalan antara ia dan perusahaan.

Pandangan perusahaan rupanya lain. Kasus ini masih berlanjut. Sutrisno mengaku dipaksa mengundurkan diri. Jika tidak, perusahaan mengancam akan melaporkan kasus itu kepada kepolisian. “Saya disuruh membuat surat pernyataan pengunduran diri dengan alasan telah melanggar pasal 158 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,” kata anggota Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) itu kepada hukumonline di gedung Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, Senin (12/1).

Sutrisno menolak mengundurkan diri dan meminta perusahaan untuk menjatuhkkan PHK. Mengundurkan diri dilakukan pekerja secara sukarela, bukan paksaan perusahaan.

Langkah bipartit yang telah ditempuh kedua belah pihak pada Juni 2014 tidak menemukan titik temu. Begitu pula dengan mediasi tripartit di Sudinakertrans Jakarta Selatan. Alhasil perselisihan berlanjut ke PHI Jakarta. Dalam gugatan yang dilayangkan ke PHI, Sutrisno meminta hakim untuk menyatakan hubungan kerjanya putus dan menghukum perusahaan membayar pesangon Rp51 juta.

Kuasa hukum Sutrisno dari LBH SBSI, Budiyono, mengatakan perusahaan tidak bisa menjatuhkan PHK dengan alasan kesalahan berat tanpa ada putusan pidana. “MK telah membatalkan ketentuan pelanggaran berat dalam (pasal 158,-red) UU Ketenagakerjaan,” ujarnya.

Apalagi, Budiyono melanjutkan, tudingan menggelapkan uang perusahaan sudah selesai karena Sutrisno telah menyetorkan uang hasil penjualan kepada perusahaan. Selain itu jika melakukan PHK harusnya perusahaan menggunakan mekanisme penerbitan surat peringatan (SP) 1 sampai 3 kepada pekerja.

Kuasa hukum PT Tumbakmas Niaga Sakti, Sigit Nurhadi Nugraha, mengatakan perusahaan menjatuhkan PHK karena Sutrisno melakukan pelanggaran berat yakni menggelapkan uang perusahaan. Menurutnya, Sutrisno telah mengakui kesalahan itu dan dinyatakan tertulis lewat surat bermaterai.

Sigit mengatakan perusahaan tidak ingin membawa persoalan ini ke ranah pidana. Perusahaan berharap masalah ini dapat diselesaikan secara baik. Namun, yang masih jadi persoalan yakni besaran pesangon yang belum disepakati oleh kedua belah pihak. Perusahaan keberatan dengan pesangon yang dituntut Sutrisno. “Pada intinya perusahaan mau membayar pesangon, tapi besarannya belum ada kesepakatan,” urainya.

Menanggapi hal itu Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Aloysius Uwiyono, mengakui pada praktiknya pasal 158 UU Ketenagakerjaan masih digunakan perusahaan untuk melakukan PHK. Menurutnya, penafsiran terhadap ketentuan itu apakah masih berlaku atau tidak tergantung hakim PHI yang menyidangkan perkara.

Aloysius mengusulkan untuk membenahi hal tersebut mestinya UU Ketenagakerjaan direvisi, khususnya ketentuan yang mengatur tentang pelanggaran berat. Sehingga disesuaikan dengan putusan MK, kemudian dijelaskan norma mana yang dilarang dan tidak. “Idealnya UU Ketenagakerjaan harus direvisi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait