Terpidana Korupsi Bioremediasi ‘Menang’ di MK
Utama

Terpidana Korupsi Bioremediasi ‘Menang’ di MK

Berbekal putusan MK ini, Bachtiar berencana mengajukan PK.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Maqdir Ismail. Foto: Sgp
Maqdir Ismail. Foto: Sgp
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi Pasal 59 ayat (4) dan Pasal 95 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) yang diajukan Bachtiar Abdul Fatah. Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (4) yang mengatur kewajiban izin pengelolaaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dinyatakan inkontitusional bersyarat. Sementara, Pasal 95 ayat (1) menyangkut penegakan hukum lingkungan ditafsirkan wajib dilakukan secara terpadu oleh instansi terkait.  

Dalam putusan bernomor 18/PUU-XII/2014, Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (4) UU PPLH bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3 yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam proses harus dianggap telah memperoleh izin.

MK juga menghapus kata “dapat” dan memberi tafsir inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “tindak pidana lingkungan hidup” dalam Pasal 95 ayat (1) UU PPLH sepanjang tidak dimaknai “termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini. Dengan begitu, Pasal 95 ayat (1) UU PPLH selengkapnya menjadi “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.”

Mahkamah beralasan dalam konteks subjek hukum yang belum berizin dan proses pengurusan izinnya sedang berlangsung tidak dapat secara hukum dianggap telah memperoleh izin, sehingga tidak dapat mengelola limbah B3. Untuk subjek hukum yang tengah mengajukan perpanjangan izin secara formal belum mendapat izin. Namun, secara materil sesungguhnya harus dianggap telah memperoleh izin.

“Apalagi terlambat keluarnya izin tersebut bukan kesalahan pihak yang mengajukan perpanjangan izin, tidak layak pemohon diperlakukan sama dengan subjek hukum yang tidak memiliki izin sama sekali,” tutur Hakim Konstitusi Muhammad Alim saat membacakan pertimbangan putusan.

Menurutnya, objek hukum permasalahan tersebut adalah limbah B3, yang dapat berdampak buruk dan mengancam kelestarian lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Sementara subjek hukum juga memproduksi limbah B3 dan berkewajiban mengelola limbahnya yang apabila tidak dilakukan akan dapat merusak kelestarian lingkungan hidup dan dapat diancam dengan pidana.

Keterpaduan
Di sisi lain, Pasal 95 ayat (1) UU PPLH penegakan hukum pidana lingkungan mempergunakan keterpaduan dengan tetap memperhatikan asas ultimum remedium sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dan perdata dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan.

“Koordinasi dalam penegakan hukum lingkungan suatu keniscayaan yang didasarkan fakta  dampak buruk limbah B3. Sebab, menggeneralisasi pelanggaran hukum lingkungan yang tidak tunggal sebagai kejahatan juga tindakan ketidakadilan. Untuk itu,forum koordinasi itu memastikan kategori pelanggaran terhadap hukum lingkungan tersebut,” papar Alim.

Menurut Mahkamah, pengertian tindak pidana lingkungan hidup, tidak hanya terbatas tindak pidana lingkungan hidup, tetapi juga tindak pidana lainnya, seperti tindak pidana korupsi terjadi sebagai akibat pelanggaran UU PPLH. “Karenanya, tidak adil jika penegakan hukum terpadu tersebut hanya mengenai tindak pidana lingkungan hidup, tidak mencakup tindak pidana lainnya.”

Usai persidangan, Kuasa Hukum Pemohon, Maqdir Ismail menyambut baik putusan ini. Menurutnya, yang terpenting dari putusan ini adalah ketika orang sedang mengajukan izin perpanjangan perizinan pengelolaan limbah B3 tidak lantas dianggap tidak berizin. Namun, kasus yang dialami Bachtiar dalam kasus korupsi Bioremediasi Chevron, pihak kejaksaan menganggap perpanjangan itu dianggap tidak ada izin meski telah diajukan bukti.

Selain itu, putusan ini mewajibkan ada keterpaduan dalam penegakan hukum lingkungan yang tidak hanya “monopoli” kepolisian atau kejaksaan. Sebab, selama ini pihak kepolisian atau kejaksaan cukup sering dalam perkara lingkungan atau kehutanan tidak berkoordinasi dengan lembaga lain yang terkait, misalnya dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan.

“Itu tindakan yang salah, mereka tidak ada proses itu (koordinasi antarinstansi), hanya langsung mengatakan ada korupsi,” kata dia.

Berbekal putusan MK ini, Maqdir mengaku tidak tertutup kemungkinan Bachtiar akan mengajukan peninjauan kembali (PK). Pihaknya, akan menunjukkan kepada majelis PK bahwa selama ini ada kesalahan tafsir dari pihak kejaksaan dan pengadilan. “Kami sedang menyiapkan PK, tetapi salinan putusan kasasi saja belum kami terima,” keluhnya.

Untuk diketahui, Bachtiar bersama-sama dengan Herland Bin Ompo selaku Direktur Utama PT Sumigita Jaya didakwa melakukan tindak pidana korupsi proyek bioremediasi PT CPI di Kecamatan Minas, Kabupaten Siak Provinsi Riau. Keduanya, telah menandatangani kontrak bernomor C 905616 pada September 2011-Maret 2012 untuk menormalisasi tanah yang tercemar limbah.

Bachtiar selaku General Manager (GM) Sumatera Light South (SLS) PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) sendiri telah divonis 2 tahun dan denda 200 juta rupiah subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta hingga tingkat kasasi di MA. Dia terbukti melanggar UU PPLH dan UU Pemberantasan Korupsi. 
Tags:

Berita Terkait