Imunitas Pejabat Penegak Hukum Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi
Utama

Imunitas Pejabat Penegak Hukum Dinilai Bertentangan dengan Konstitusi

Setiap warga negara sama kedudukannya di mata hukum, sekalipun pejabat negara.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Foto: @fadlizon
Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Foto: @fadlizon
Wacana hak imunitas terhadap pejabat penegak hukum, khususnya komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencuat pasca penetapan tersangka terhadap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) oleh Bareskrim Polri. Namun, hak imunitas yang digagas masyarakat dipandang bertentangan dengan konstitusi.

“Bukan tidak perlu, tapi bertentangan dengan konstitusi,” ujar Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, di Gedung DPR, Senin (26/1).

Menurutnya, setiap warga negara, termasuk presiden sama kedudukannya di mata hukum. “Tak ada perbedaan khususnya antara presiden, anggota dewan, pimpinan KPK, maupun pejabat Polri di depan hukum. Semua tidak ada yang bisa imunitas,” katanya.

Dalam kasus pimpinan KPK BW dan calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG), Fadli Zon berpandangan proses hukum harus berjalan. Menurutnya, biarkan proses hukum berjalan dengan tidak diintervensi dari kalangan manapun, termasuk penguasa. Kasus yang menjerat BW dan BG dinilai menggangu kinerja KPK dan Polri. Oleh sebab itu, dibutuhkan langkah tepat agar proses hukum berjalan sesuai koridor tanpa tekanan dari pihak manapun.

Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin berpandangan imunitas terhadap pejabat negara, sekalipun penegak hukum tidak dimungkinkan dalam UU. Soalnya, pemberian hak imunitas terhadap pejabat negara tertentu akan berdampak permintaan hak serupa bagi pejabat institusi penegak hukum lainnya.

Politisi Partai Golkar itu lebih jauh berpandangan, penerbitan Peraturan Pengganti Perundang-Undangan (Perppu) soal hak imunitas dapat diterbitkan presiden sepanjang mendapat persetujuan dari DPR. Pasalnya, penerbitan Perppu menjadi kewenangan presiden.

Namun, Aziz menegaskan ketidaksetujuannya dengan pemberian hak imunitas bagi penegak hukum. Soalnya itu tadi, ada persamaan warga negara di mata hukum, sekalipun yang bersangkutan adalah pejabat negara. “Secara sudut pandang intelektual, menurut saya tidak bisa menerbitkan Perppu imunitas seperti ini,” ujarnya.

Dikatakan Aziz, kalau saja aturan hak imunitas diatur dalam sebuah perundang-undangan, toh itu tidak berlaku bagi satu institusi. Sebuah UU, kata Aziz, berlaku umum. Menurutnya, pemberian hak imunitas bakal menjadi persoalan baru jika diberikan hanya kepada satu institusi.

“Kalau satu dibuat, tentu akan berlaku umum. UU dibuat tidak untuk satu institusi, tetapi berlaku universal,” katanya.

Wakil Ketua Komisi III Desmon J Mahesa mengamini pandangan Fadli dan Aziz. Menurutnya, pemberian hak imunitas terhadap seorang pejabat negara yang tersangkut hukum dengan alasan bakal mengganggu kerja lembaga penegak hukum tak beralasan.

Dia mengatakan, kerja lembaga penegak hukum merupakan persoalan lain. Dalam penegakan hukum, pejabat negara sama halnya dengan warga negara biasa. “Tidak ada alasan untuk imunitas, urgensinya apa?,” ujarnya.

Anggota Komisi III Dwi Ria Latifa berpandangan sama. Menurutnya, pemberian hak imunitas terhadap satu institusi akan menjadi persoalan baru. Soalnya, pejabat negara yang sadar akan terkena persoalan hukum bukan tidak mungkin akan meminta hak imunitas. Hal tersebut bukan menjadi persoalan hukum menjadi terang, sebaliknya malah tak akan mendapat kepastian hukum.

“Kalau seperti itu tidak ada lagi kepastian hukum untuk semua pejabat, keadilan hukum itu sama untuk semua, asal transparan dan jangan sampai ada rekayasa-rekayasa,” katanya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu enggan memberikan penilaian terhadap permintaan sebagian kalangan masyarakat soal pemberian hak imunitas terhadap pejabat KPK. Menurutnya, acuan dalam penegakan hukum tetap bersandar pada konsitusi.

“Kalau kita berpegang pada hukum, semua akan tidak ada rekayasa-rekayasa,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait