Pemerintah Kejar Pembangunan Infrastruktur Migas
Berita

Pemerintah Kejar Pembangunan Infrastruktur Migas

Anggaran pembangunan harus berasal dari APBN, tidak mengambil anggaran yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Kondisi infrastruktur untuk menyangga sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia masih minim. Bahkan, di tengah pasar terbuka Asia Tenggara saat ini, Indonesia masih kalah dengan negara-negara tetangga. Dalam penyediaan stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), Indonesia masih jauh di bawah Thailand. Padahal, negeri seribu pagoda itu kebutuhan gasnya diperoleh dari impor.

"Malu sama Thailand. Mereka saja gas impor, tapi jumlah SPBG-nya mampu melayani semua penduduknya," ujar Plt Dirjen Migas Kementerian ESDM, I Gusti Nyoman Wiratmaja, di Jakarta, Rabu (28/1).

Sementara itu, jumlah SPBG di Indonesia masih tak sebanding dengan jumlah penduduk. Hingga saat ini, Indonesia baru memiliki 43 SPBG yang tersedia untuk melayani penduduk. Padahal, menurut Wiratmadja, pertama kali pembangunan SPBG dilakukan 35 tahun lalu, sejak 1980-an. Belum lagi, dari 43 SPBG tersebut saat ini yang bisa beroperasi hanya setengahnya saja.

“Sebab, memang pemakainya tidak ada. Ini masalah penyediaan energi gas di Indonesia sudah seperti benang kusut,” keluhnya.

Terkait dengan infrastruktur minyak pun Indonesia masih kalah dibanding Vietnam. Padahal, jika dihitung secara umur Indonesia telah lebih dulu memulai pembangunan. Sebab, Vietnam baru merdeka jauh setelah Indonesia. Namun pada kenyataannya cadangan minyak Indonesia tak seberapa dari Vietnam.

"Indonesia tidak mempunyai cadangan penyanggah. Vietnam yang baru habis perang saja punya cadangan 37 hari sedangkan Indonesia 0 hari," kata dia.

Wiratmadja mengaku, pembangunan infrastruktur migas merupakan salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah secara serius. Dia mengakui, kondisi kini menjadi kelemahan pemerintah. Maka itu, pihaknya mengklaim akan melakukan beberapa terobosan untuk mengejar pembangunan infrastruktur itu.

Pertama, ia mengungkapkan bahwa saat ini sedang membangun kilang di daerah Bontang dan Arun. Selain itu, pihaknya juga mengajak para investor untuk ikut dalam hal ini. Terobosan lain adalah membangun stasiun Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair. Untuk tahun ini pemerintah sudah membuka beberapa stasiun LNG di pulau Jawa. Di antaranya Banten, Cirebon, Jakarta dan Surabaya.

Lebih lanjut Wiratmadja mengatakan, pemerintah bakal membangun delapan stasiun LNG lainnya dalam waktu dekat ini. Targetnya, tahun ini pemerintah akan menyelesaikan masalah penyediaan lahan. Ia mengaku, mencari dan membeli lahan tidak mudah.

“Tapi kita optimis tahun ini kita dapat lahannya. Tahun depan kita desain dan mulai bangun,” tandasnya.

Anggaran pembangunan stasiun LPG itu didapat dari APBN. Pagu itu, menurutnya merupakan pemanfaatan dana tambahan yang didapatkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sebagaimana diketahui, Kementerian ESDM telah mendapat tambahan anggaran sebesar Rp5 triliun.

Wiratmadja menyebut, jika delapan stasiun LNG ini sudah dibangun, ke depan truk-truk yang melewati jalur Pantura akan bisa dengan mudah mengakses LNG. Mereka bisa mengisi 500-550 kilo liter ke dalam tangki setiap sekali pengisian. Saat ini, truk-truk itu baru bisa mengakses Compressed Natural Gas (CNG) dengan kapasitas pengisian hanya 100-an liter.

“Lebih hemat pakai LNG," ujarnya.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto,mengatakan pembangunan infrastruktur migas, merupakan kewajiban pemerintah. Oleh sebab itu, anggaran yang digunakan memang harus berasal dari APBN, tidak mengambil anggaran yang seharusnya dapat dinikmati oleh masyarakat.

Ia pun menyarankan, pemerintah memanfaatkan alokasi subsidi premium yang telah dilepas pada 31 Desember 2014 silam sebagai anggaran untuk membangun infrastruktur migas. Sebab menurutnya, tabungan dari selisih harga minyak dunia yang terus mengalami penurunan diprediksi tidak akan besar dan cukup untuk membangun infrastruktur migas.

“Selain itu, harga minyak dunia juga sulit diprediksi kapan akan mengalami penurunan dan penaikan,” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait