Perpanjang Ekspor Freeport, Pemerintah Dinilai Langgar UU Minerba
Utama

Perpanjang Ekspor Freeport, Pemerintah Dinilai Langgar UU Minerba

Pemerintah mengaku terpaksa melanggar ketentuan UU Minerba, agar tidak tejadi kevakuman dalam industri minerba dalam negeri.

Oleh:
RFQ/KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: www.abc.net.au
Foto: www.abc.net.au
Kesepakatan PT Freeport Indonesia dengan pemerintah untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian mineral (Semelter) belum juga menunjukan perkembangan yang signifikan. PT Freeport dinilai tidak menunjukan keseriusannya atas kesepatakan yang tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU). Demikian disampaikan Ketua Komite II DPD Parlindungan Purba di Gedung DPD, Rabu (28/1).

“Sampai batas waktu kesepakatan tanggal 24 Januari 2015 yang lalu, Freeport Indonesia belum menunjukkan kesungguhan dalam membangun smelter. Padahal hal ini merupakan poin krusial yang menjadi landasan pemerintah untuk mengijinkan Freeport mengekspor hasil tambangnya,” ujarnya.

Senator asal Sumatera Utara itu berpandangan, pemerintah acapkali melunak dengan memberikan waktu panjang kepada Freeport. Sebagaimana diketahui, Freeport diberikan waktu selama 6 bulan kedepan untuk mengekspor hasil tambang di bumi Cenderawasih, Papua.

Ia menilai perpanjangan waktu selama enam bulan bertentangan dengan Pasal 103 dan 107 UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2014. Terhadap kesepakatan dengan perusahaan Amerika Serikat itu, DPD meminta pemerintah menghentikan MoU tersebut.

Ia pun mendesak agar pemerintah meninjau ulang kontrak karya dengan Freeport yang bakal berakhir tahun 2021 mendatang. “Bila perlu perpanjangan cukup 10 tahun saja. Seharusnya semelter akan lebih strategis dan efisien apabila dibangun di Papua,” katanya.

Ahmad Mawardi menambahkan, tindakan yang dilakukan dengan memperpanjang waktu enam bulan sebagaimana tertuang dalam MoU melanggar UU Minerba dan Batubara. Ia berpandangan semestinya pertengahan 2014 lalu sudah dibangun smelter di Papua. Sayangnya, Freeport tak juga membangun smelter di Papua.

“Sekarang Freeport minta perpanjangan lagi selama 6 bulan. Itu artinya sudah menghianati pemerintah Indonesia,” katanya.

Anggota DPD dari Jawa Timur itu mengatakan, pemerintah mesti tegas dalam bersikap. Misalnya, pemerintah menegur Freeport agar menepati kesepakatan yang sudah disepakti, bukan sebaliknya meminta perpanjangan waktu. “Jangan hanya tegas pada perusahaan-perusahaan kecil, tetapi juga perusahaan besar.Kalau tidak dikhawatirkan akan terjadi masyarakat di Papua akan marah,” ujarnya.

Anggota DPD asal Papua, Mesak Merin berpandangan persoalan Freeport masih menjadi masalah besar di Papua. Ia menilai  perpanjangan waktu enam bulan untuk melakukan ekspor merupakan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat Papua. Hal itu menunjukan betapa pemerintah tidak menunjukan keseriusan dalam membangun masyarakat Papua.

“Kalau perlu Freeport ditutup jika pembangunannya tidak berpihak pada rakyat Papua. Kami dari DPD RI mendukung itu,” katanya.

Ia mendesak Presiden Joko Widodo dapat menyelesaikan persoalan Freeport yang bertahun-tahun mengambil sumber daya alam Papua. Ia mengancam bakal mengerahkan masyarakat Papua untuk menutup Freeport. Hal lainnya, ia meminta pembangunan Smelter tidak dibangun di tanah Jawa, tetapi di tanah Papua.

“Kami minta Presiden untuk berdialog dengan perwakilan masyarakat di Papua. Jangan hanya melalui media massa saja. Smelter itu harus dibangun di Papua, kalau memang Pemerintah ingin membangun Papua,” pungkasnya.

Akui Melanggar
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), R. Sukhyar, mengakui pihaknya telah melakukan pelanggaran hukum. Ia mengatakan, pemberian izin ekspor konsentrat kepada PT Freeport Indonesia telah menabrak ketentuan dalam UU No.4 Tahun 2009. Namun, Sukhyar mengaku pihaknya punya alasan.

Lebih lanjut Sukhyar menegaskan, kementeriannya memiliki pertimbangan yang menjadi dasar untuk bersikap melanggar UU Minerba. Ia mengungkapkan, pemerintah memilih langkah itu lantaran tak mau ada kevakuman dalam industri minerba di dalam negeri.

Sebagaimana diketahui, Pasal 170 UU Minerba mengatur bahwa terhitung lima tahun setelah diundangkan, tak boleh lagi ada aktivitas ekspor konsentrat. Dengan demikian, 11 Januari 2014 menjadi tonggak waktu bagi pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan ekspor konsentratnya. Akan tetapi, pada kenyataannya justru tidak demikian.

"Tantangannya kan begini. Ini pilihan kita, apa mau stop Izin Usaha Pertambangan dan Kontrak Karya," kata Sukhyar.

Ia mengaku memahami mandat undang-undang bahwa semua kontraktor harus menghentikan kegiatan ekspor konsentratnya. Hanya saja, jika hal itu dilakukan maka menurut Sukhyar akan terjadi kecakuman industri minerba di tanah air. Oleh karena itu, pemerintah pada akhirnya tetap memberikan izin bagi pelaku usaha untuk mengekspor konsentrat, termasuk kepada Freeport.

"Bahwa itu tidak sesuai UU kita sadar. Ini kan dilematis diambil sikap oleh pemerintah. Kan seharusnya berhenti. Kenapa tidak diambil kan celaka kalau semua harus dihentikan. Kevakuman terjadi sementara memang kita tidak siap menyiapkan perangkat, apalagi kenyataannya membangun smelter energinya tidak ada," tambahnya.

Sukhyar juga menyebutkan produksi Freeport dan Newmont baru sebesar 30 persen yang murni di dalam negeri. Begitu juga pada pemegang IUP lain yang belum selesai melakukan pemurnian dan pengolahan sesuai batas waktu yang ditentukan.
Tags:

Berita Terkait