DPD Berencana Usulkan RUU Percepatan Peradilan Pejabat Tinggi Negara
Berita

DPD Berencana Usulkan RUU Percepatan Peradilan Pejabat Tinggi Negara

Akan menimbulkan pro dan kontra karena persamaan warga negara di depan hukum.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
DPD Berencana Usulkan RUU Percepatan Peradilan Pejabat Tinggi Negara
Hukumonline
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berencana mengusulkan percepatan peradilan pejabat tinggi negara yang dituangkan dalam bentuk rancangan undang-undang (RUU). Gagasan itu dengan membentuk peradilan khusus (privilege) agar kasus hukum yang menjerat pejabat tinggi negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif dapat berjalan cepat. Demikian disampaikan Ketua Tim Litigasi DPD, John Pieris, dalam sebuah diskusi di komplek Gedung Parlemen, Kamis (29/1).

Menurutnya, percepatan peradilan diperlukan setidaknya untuk mengatasi kekosongan hukum, dan lowongnya kursi pejabat negara. Dikatakan John, peradilan cepat tersebut akan bersifat permanen. Sedangkan hakimnya berisfat ad hoc berada di bawah Mahkamah Agung. “Nantinya putusan bersifat final dan mengikat,” ujarnya.

Senator asal Maluku itu berpandangan, jangka waktu peradilan cepat itu selama 10 hari kerja di luar proses penyidikan. Dengan begitu, pejabat tinggi negara mendapatkan kepastian hukum perihal terbukti tidaknya tudingan atas dugaan tindak pidana. Ia memberikan contoh dalam kasus Komjen Budi Gunawan. Pejabat kapolri definitif memiliki kekosongan pejabat. Akibatnya, tugas dan fungsi Kapolri  secara strategis tak dapat sepenuhnya dilakukan oleh pejabat pelaksana tugas Kapolri. Begitu pula dengan kasus Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto.

Lebih jauh John berpendapat, perangkat hakim yang menangani peradilan cepat mesti ahli dalam kasus yang diadili. Terpenting, hakim yang mengadili tak terafiliasi dengan kepentingan politik atau apapun, alias murni penegakan hukum. Menurutnya, hakim tersebut dapat diambil dari Ketua Pengadilan Tinggi maupun hakim agung.

Terpenting, kata John, hakim pengadilan khusus tersebut tidak dilakukan dengan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan agar terhindar dari kepentingan politik tertentu. “Tugas hakim itu bukan saja berdasarkan hukum formal, tetapi juga dibutuhkan sensitifitas terhadap pentingnya moralitas, etika, aspirasi rakyat, dan nurani,” ujarnya.

Ketua Pusat Studi Hukum Pidana Universitas Trisakti, Yenti Ganarsih, berpadangan mekanisme sistem peradilan cepat bukan saja diberlakukan bagi pejabat presiden dan wakil presiden. Pasalnya, merujuk pada Pasal 7B UUD 1945 membutuhkan waktu panjang untuk memberhentikan pejabat presiden dan wakil presiden.

Dikatakan Yenti, dalam usulan DPD yang melakukan usulan amandemen kelima UUD 1945 mengharuskan perluasan pemberhentian pejabat negara. Tak saja  presiden dan wakil presiden, juga pejabat tinggi negara lainnya. Pasal 7B sudah memberikan kategori tindak pidana apa saja yang menjadi alasan pemberhentian pejabat tinggi negara.

“Misalnya, pengkhianatan terhadap negara, menyuap atau terima suap, korupsi, terlibat tindakan asusila seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan lain-lain, maka harus diadili dengan cepat,” ujarnya.

Ketua Komisi III Azis Syamsuddin prinsipnya mendukung usulan DPD agar proses peradilan cepat bagi pejabat negara. Namun, ia menyangsikan usulan tersebut bakal berjalan mulus. Soalnya, Indonesia menganut paham persamaan warga negara di depan hukum. Dengan kata lain, antara pejabat negara, ketua lembaga dan warga negara sama halnya di hadapan hukum dengan melalui peradilan umum.

Menurutnya, jabatan publik tak boleh kosong. Ia mencotohkan, dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri mengharuskan pemberhentian seorang Kapolri harus otomatis dengan pengangkatan pejabat Kapolri. Hal itu menghindari kekosongan pejabat tinggi di korps bhayangkara.

“Ide previlegiatum menghindari proses peradilan yang cukup lama karena penyidikan, penuntutan dan peradilan. Tetapi juga presiden tidak boleh intervensi,” ujarnya.

Politisi Partai Golkar itu berpandangan jika ide tersebut diakomodir, maka mesti terdapat banyak perubahan. Termasuk membuat hukum acara pidananya agar berlangsung singkat selama 10 hari. Dengan begitu, selama 10 hari persidangan telah mendapat putusan pengadilan.

“Kalau diakomodir usulan ini, maka pimpinan KPK, Polri, MA dan lembaga lain tidak perlu peradilan umum, tapi kan nanti menimbulkan pro kontra. Karena persamaan di depan hukum,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait