Ini Konsep Single Bar ala Fraksi PPP dalam RUU Advokat
Berita

Ini Konsep Single Bar ala Fraksi PPP dalam RUU Advokat

PERADI menilai konsep tersebut sama dengan yang menjadi perdebatan pada periode lalu, yakni keberadaan Dewan Advokat Nasional.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Sebagai pengusul RUU Advokat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2015-2019, Fraksi PPP menawarkan konsep yang selama ini menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU tersebut. Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, menawarkan konsep single bar atau satu organisasi tunggal dalam RUU Advokat.

Namun, single bar yang ditawarkan tersebut juga mewadahi sejumlah organisasi-organisasi advokat yang telah ada di Indonesia selama ini. “Pikiran saya, tetap prinsip itu single bar, tapi dalam pengertian fungsi. Konsepnya itu kira-kira ada organisasi hulu, ada organisasi hilir,” kata Anggota Komisi III DPR ini kepada hukumonline, Kamis (30/1).

Organisasi hulu, kata Arsul, bisa ditempati oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Sedangkan untuk di hilir ditempati oleh sejumlah organisasi advokat lainnya yang selama ini ada di Indonesia. Seperti, Kongres Advokat Indonesia (KAI), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), IKADIN dan sejumlah organisasi advokat lain yang telah ada di Indonesia.

Kedua organisasi baik hilir dan hulu ini masing-masing memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda. Misalnya pada organisasi hulu, yaitu PERADI. Ia mengatakan, PERADI memiliki tugas dan fungsi sebagai regulator, pengawas, hingga menyusun kurikulum pendidikan advokat.

Untuk pengawasan advokat di daerah, bisa dilakukan perwakilan PERADI di masing-masing daerah. Begitu juga dengan dewan kehormatan advokat. Ia menyarankan agar PERADI di masing-masing daerah memiliki dewan kehormatan advokat. Jika tidak puas, advokat tersebut bisa melakukan banding ke PERADI yang ada di pusat.

“Kalau konsepnya seperti itu, PERADI itu juga bentuknya presidium. Jadi, tidak ada ketua PERADI lima tahun, tapi presidium, setahun giliran,” tuturnya.

Sedangkan organisasi hilir, memiliki tugas sebagai eksekutor untuk mengadakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). “Jadi, jangan PERADI itu mengadakan PKPA, itu lucu. Dia itu regulator sekaligus eksekutor. Siapa yang harus mengadakan pendidikan? Ya mulai dari Ikadin, KAI, AAI dan lain-lain, sehingga mereka ini tidak cuma jadi paguyuban akhirnya,” kata Arsul.

Dalam RUU, lanjut Arsul, juga diusulkan untuk memberikan kesempatan bagi pihak lain mendirikan organisasi advokat. Namun, pendirian tersebut wajib ada persyaratan-persyaratan yang harus dilalui. “Harus diatur (persyaratan) katakanlah seperti partai, minimal dia harus punya sekian (perwakilan di daerah, red) dan berada di sekian provinsi, kemudian diakui,” katanya.

Sekretaris Jenderal PERADI, Hasanuddin Nasution, tak heran jika RUU Advokat masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Ia meyakini RUU tersebut pasti akan diajukan kembali oleh DPR di periode yang baru. “Saya yakin itu akan masuk kembali dengan tenaga yang besar, pikiran yang besar dan dana yang besar. Artinya kalau sekarang masuk sesuai prediksi saya,” katanya melalui sambungan telpon, Jumat (30/1).

Terkait dengan konsep yang ditawarkan Fraksi PPP, pria yang disapa Nas itu menilai tawaran tersebut sama dengan yang menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU Advokat periode lalu. Bedanya, periode lalu menggunakan nama Dewan Advokat Nasional (DAN) sebagai Board Indonesian of Advocate yang merupakan regulator dan pengawas, lalu di bawahnya adalah organisasi-organisasi advokat yang bisa menjadi eksekutor sebagai pelaksana PKPA.

Ia mengaku bingung dengan konsep yang ditawarkan Fraksi PPP tersebut. Menurutnya, konsep tersebut tetap mengakui organisasi yang berbeda. Sementara single bar hanya mengakui satu organisasi advokat. “Urusan semua mengenai advokat itu ya ada di single bar itu, tidak bisa dibeda-bedakan,” katanya.

Terlebih lagi, lanjut Nas, advokat adalah profesi penegak hukum. Jika advokat ingin disetarakan dengan lembaga penegak hukum lain yang relatif strukturnya mapan, ya tidak ada organisasi yang berbeda-beda. “Sangat tidak profesional mereka berpikir dengan cara seperti itu,” ujarnya.

Padahal, lanjut Nas, PERADI sering mengatakan ke DPR bahwa single bar ini tinggal diperkuat saja. Misalnya, dengan melakukan pendidikan yang baik, meningkatkan kualitas advokat Indonesia dengan memperkuat pendidikan lanjutan. Bila terjadi pelanggaran, harus ada pengawas dari dewan kehormatan yang tegas terhadap pelanggaran etika.

“Sebenarnya, saya melihatnya hampir sama juga dengan DAN sebagai board of regulator dan memegang etik, lalu ada organisasi yang memiliki tugas PKPA, tidak ada bedanya,” tutup Nas.
Tags:

Berita Terkait