SE Menkumham tentang Remisi Resmi Diuji ke MA
Utama

SE Menkumham tentang Remisi Resmi Diuji ke MA

Pemberian remisi seharusnya tetap mengacu pada PP No. 99 Tahun 2012.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Supriyadi W Eddyono (tengah). Foto: ASH
Supriyadi W Eddyono (tengah). Foto: ASH
Sejumlah organisasi masyarakat sipil sudah mempersoalkan Surat Edaran Menkumham No. M.HH-04.PK.01.05.06 Tahun 2013 tentang Juklak Pemberlakuan PP No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Kritik sudah disampaikan secara terbuka begitu kontroversi pemberian remisi kepada sejumlah terpidana kasus korupsi merebak.

Menteri Hukum dan HAM bergeming. Justru karena belum dicabut itulah akhirnya Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mendaftarkan permohonan hak uji materiil (HUM) atas Surat Edaran Menkumham tersebut.

“Kami minta SE Menkumham itu dicabut karena bertentangan dengan PP No. 99 Tahun 2012 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” ujar kuasa hukum pemohon, Supriyadi W. Eddyono usai mendaftarakan uji materi SE Menkumham itu di gedung MA, Kamis (5/2).

Para pemohon menilai beleid itu - yang masih mengatur pemberian remisi (pengurangan hukuman) terhadap terpidana korupsi - justru kontraproduktif dengan PP No. 99 Tahun 2012. PP ini justru memperketat pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi, narkotika, kejahatan transnasional, terorisme, dan kejahatan HAM.  

Supi—panggilan akrab Supriyadi-- mengatakan pada intinya SE Menkumham  membatasi penerapan PP No. 99 Tahun 2012. Seolah-olah PP hanya diperuntukkan bagi kejahatan luar biasa termasuk terpidana korupsi, narkotika, yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap setelah tanggal pengesahan PP No. 99 Tahun 2012 yakni 12 November 2012 (tidak berlaku surut).

“Implikasinya, SE Menhkumham itu, semua terpidana korupsi yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap sebelum tanggal 12 November 2012 akan mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat,” kata Supriyono.

Dalam permohonannya, pemohon melampirkan putusan Mahkamah Agung tentang uji materi PP No. 99 Tahun 2012 yang diajukan sejumlah terpidana korupsi. Dalam putusan pada 2013 itu, majelis hakim MA menyatakan pembatasan/memperketat remisi tidak bertentangan atau melanggar HAM dan peraturan yang lebih tinggi. “Ini kita jadikan acuan dalam permohonan kita,” kata dia.  

Sejak berlakunya SE Menkumham yang dikeluarkan pada 12 Juli 2013 ini, Kemenkumham cq Ditjen Pemasyarakatan telah memberikan remisi kepada sejumlah narapidana kasus korupsi di hari Kemerdekaan 17 Agustus 2014. Diantaranya, Hartati Murdaya, Gayus Tambunan, Anggodo Widjojo, Urip Tri Gunawan, dan Mochtar Muhammad.

“Pemberian remisi tak sejalan dengan komitmen pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi dan PP No. 99 Tahun 2012,” sambung perwakilan ICW, Emerson Juntho.    

Meski begitu, Emerson menegaskan, para pemohon tidak menolak remisi terhadap terpidana korupsi terutama pada saat hari kemerdekaan atau hari raya. Namun, pemberian remisi seharusnya mengacu pada PP No. 99 Tahun 2012 yang memberi persyaratan ketat pemberian remisi. Salah satunya, hanya terpidana yang berstatus justice collaborator (pelaku yang bekerja sama) yang berhak mendapat remisi.

“Di luar itu, tidak boleh menerima remisi. Kasus Hartati Murdaya dan Anggodo seharusnya tidak masuk klasifikasi justice collaborator,” tegasnya. Anggodo Widjojo dan Hartati Murdaya mendapatkan remisi pada perayaan Natal 2014.

Emerson menambahkan sebelumnya telah mengajukan surat somasi (keberatan) pada 12 Januari yang meminta agar Kemenkumham mencabut SE Menkumham itu. Namun, hingga hari ini Menkumham tidak juga mencabut SE itu. “Karena tidak ada respon, makanya hari ini kita mengajukan uji materi ini ke MA,” katanya.

Terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Ridwan Mansyur mengatakan sebenarnya pengujian peraturan yang berbentuk Surat Edaran (SE) bukan kewenangan MA. Namun begitu, semuanya tergantung majelis hakim yang berwenang untuk memutuskan. “Tetapi, silahkan saja diajukan nanti akan dipertimbangkan. Kan MA tidak boleh menolak perkara,” kata Ridwan saat dihubungi.

Saat ditanya MA pernah mengabulkan pengujian yang berbentuk SE, Ridwan mengaku tidak mengetahui. “Saya belum pernah mendengar. Biasanya yang dimohonkan uji materi peraturan menteri, keputusan menteri, peraturan daerah termasuk peraturan gubernur,” katanya.
Tags:

Berita Terkait