ICJR Minta Tiga RUU Prolegnas Diawasi Ketat
Berita

ICJR Minta Tiga RUU Prolegnas Diawasi Ketat

Baleg akan mengundang pengusul RUU, agar masyarakat mengetahui tujuan dan materi muatan RUU yang diusulkan pengusul.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Supriyadi W Eddyono (tengah). Foto: ASH
Supriyadi W Eddyono (tengah). Foto: ASH
DPR menyetujui sebanyak 159 RUU masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2015-2019. Dari sekian RUU, sebanyak tiga RUU mendapat perhatian dari Institute for Crimina Justice Reform (ICJR). Ketiga RUU itu terkait dengan pidana. Hal itu diutarakan Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W Eddyono, di Jakarta, Senin (9/2).

“ICJR memberikan perhatian kepada 3 RUU yang menjadi prioritas pada 2015 ini,” ujarnya.

DPR dalam prolegnas tahun 2015, memprioritaskan 37 RUU dari 159 RUU tesebut. Ketiga RUU yang mendapat perhatian itu adalah Revisi KUHP (RKUHP), RUU tentang Perubahan UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol.

“Ketiga Rancangan Undang-Undang tersebut layak diperhatikan dan diawasi lebih serius,” imbuhnya.

Supri merinci, terhadap RKUHP menjadi penting dalam reformasi hukum pidana Indonesia. Bahkan, pembahasannya pun bakal berlangsung panjang. Sebab, muatan materi RKUHP tergolong berat. RKUHP telah dibahas oleh Komisi III DPR periode 2009-2014 lalu. Namun, keterbatasan waktu dan muatan materi tergolong berat yakni terdapat 780 pasal membuat pembahasan tak rampung.

Selain itu, Supri menuturkan banyak materi yang menjadi problem masyarakat. Misalnya, dalam buku I. Selain itu, persoalan kebijakan kodifikasi yang menimbulkan isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak hanya itu, persoalan pencantuman pasal hukuman mati, kebijakan kriminalisasi yang berlebihan.

“Misalnya terhadap penghinaan kepala negara, penodaan agama dan lain-lain,” ujarnya.

RUU perubahan UU ITE juga perlu diawasi ketat. Khususnya terhadap beberapa pasal duplikasi pidana. Misalnya Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 UU ITE. Lembaganya, kata Supri, menaruh perhatian besar terhadap ketentuan penghinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3). Sebab, Pasal 27 ayat (3) masih bercokol dalam RUU perubahan UU ITE. Ia pun mendesak agar ketentuan penginaan duplikasi pidana lainnya dalam RUU tentang perubahan UU ITE.

Sedangkan RUU Larangan Minuman Beralkohol, ICJR meendesak pemerintah segera mempublikasikan ruang lingkup ketentuan larangan dalam RUU tersebut. RUU Larangan Minuman Beralkohol merupakan usul inisiatif dari Fraksi PPP. DPR periode lalu, RUU tersebut sempat dibahas di tingkat Baleg. Lagi-lagi persoalan waktu, sehingga tak rampung pembahasannya.

Dalam periode DPR 2015-2019, Supri berharap pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol sebaiknya dilakukan dengan argumentasi obyektif, serta berbasis kebutuhan medis. Bukan sebaliknya, dikaitkan dengan standar tertentu. Ia berpandangan, kebijakan tersebut mesti dilakukan secara hati-hati. Terutama, dari sisi penerapan kebutuhan, sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu di tengah masyarakat.

“ICJR mendorong agar DPR dan pemerintah memberikan perhatian dengan  membuka akses-akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat atas ketiga RUU tersebut, termasuk mempublikasikan segera rancangan-rancangan kepada publik, akses informasi, hearing yang lebih luas dan beragam kepada masyarakat Indonesia,” ujarnya.

Terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Firman Subagyo mengatakan pembahasan RUU prioritas Prolegnas akan dilakukan secara ketat. Baleg maupun komisi yang melakukan pembahasan RUU harus meminta pandangan dari pakar hukum dan masyarakat. Langkah itu dilakukan agar RUU yang dibuat DPR berpihak pada kepentingan rakyat. “Karena itu amanat konstitusi,” katanya.

Menurut Firman, DPR akan memberikan konsepsi kebersamaan dalam pembahasan dengan pemerintah dan masyarakat. DPR pun mengedepankan asas kualitas UU yang akan dihasilkan. Selain itu, Baleg misalnya akan mengundang para pengusul RUU. Setidaknya, Baleg maupun masyarakat nantinya dapat mengetahui materi dari RUU yang diusulkan pengusul.

“Kita akan mengundang kembali dengan pendalaman-pendalaman baik dari komisi mau pun masyarakat. RUU yang diusulkan harus sudah ada naskah akademik dan draf RUU itu harus sudah ada. Kalau tidak, kita tidak loloskan. Kita tidak mau terjebak pada adanya RUU sisipan-sisipan atau titipan-titipan untuk kepentingan tertentu, itu yang kami tidak mau,” pungkas politisi Golkar itu.
Tags:

Berita Terkait