Permohonan Praperadilan Prematur ‘Sang Jenderal’
Oleh: Junaedi, SH, M.Si. LL.M. *)
Kolom

Permohonan Praperadilan Prematur ‘Sang Jenderal’
Oleh: Junaedi, SH, M.Si. LL.M. *)

Menguji penetapan tersangka itu sama saja menguji penerapan presumption of guilty yang melekat pada kewenangan penyidik dalam penyidikan suatu perkara pidana,

Oleh:
Junaedi
Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
Foto: Koleksi Pribadi (Edit: RES)
Polemik penetapan tersangka calon Kapolri Komjen Pol Budi Gunawan (BG) bergulir ke pengadilan. Melalui tim penasihat hukumnya, BG mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam berbagai media diwartakan bahwa melalui praperadilan yang diajukan, BG meminta pengadilan untuk menguji keabsahan penetapan dirinya sebagai tersangka dalam perkara yang ditangani KPK. Permintaan pengujian penetapan tersangka tersebut secara faktual adalah upaya untuk menguji keabsahan kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh KPK terhadap perkara BG.

Diwartakan bahwa alasan yang diajukan oleh BG dalam permohonan praperadilan tersebut diantaranya dan tidak terbatas pada alasan penggunaan Pasal 63 UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) serta mengajukan alasan sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP. Tulisan ini akan mengupas lebih lanjut tentang kedua hal tersebut.

Pasal 63 UU KPK 
Pasal 63 dalam UU KPK tersebut adalah ketentuan mengenai Rehabilitasi dan Kompensasi dalam hal mana ketentuan ini terkait dengan BAB XII KUHAP yang mengatur tentang hal yang sama. Pasal 63 UU KPK juga tidak dapat dibaca dan dipahami secara terpisah dengan ketentuan BAB X KUHAP tentang Praperadilan yang mengatur tentang lingkup kewenangan praperadilan. Pasal 63 ayat 1 UU KPK berbunyi sebagai berikut:

“Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-Undang ini atau dengan hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan permohonan rehabilitasi dan/atau kompensasi.”

Membaca ketentuan di atas secara sepotong dapat dimaknai bahwa memang benar siapa saja dapat mengajukan permohonan praperadilan sebagai akibat dari pelaksanaan kewenangan dalam tindakan kepolisian dalam proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi. Akan tetapi dalam ayat berikutnya alasan pengajuan secara limitatif ditentukan hanyalah sebagaimana yang diatur dalam Bab X KUHAP yaitu tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan, tidak sahnya penangkapan dan penahanan serta pengajuan rehabilitasi dan ganti kerugian bagi penghentian penyidikan dan penuntutan perkara.

Namun mengingat KPK tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan (Pasal 40 UU KPK) maka dalam konteks Pasal 63 ini hanya dapat digunakan untuk kepentingan pihak ketiga yang terkait atau pihak lain di luar tersangka semisal adanya tindakan yang dilakukan oleh KPK terhadap pihak terkait seperti saksi atau pihak lain yang terkena dampak diambilnya tindakan oleh KPK. Misalnya dalam pelaksanaan tugas, KPK terpaksa harus melakukan pembongkaran pagar yang belakangan diketahui milik pihak lain bukan tersangka, maka dalam hal ini pihak lain tersebut dapat mengajukan praperadilan.

Atau contoh lainnya dalam penangkapan yang dilakukan oleh KPK terpaksa juga menangkap pihak lain yang bersamaan berada dalam tempat tersebut. Belakangan diketahui bahwa orang tersebut tidak terkait maka dapat diajukan permohonan praperadilan untuk memohon rehabilitasi. Selain pihak terkait tersebut, dimungkinkan seorang terdakwa mengajukan ganti kerugian dan rehabilitasi dengan acara praperadilan apabila dalam putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap ternyata terdakwa tidak terbukti dan dibebaskan maka yang bersangkutan dapat mengajukan ganti kerugian dan rehabilitasi atas proses peradilan yang dilakukan terhadapnya.

Membaca penjelasan tersebut di atas, maka apa yang diajukan oleh BG melalui kuasa hukumnya dalam permohonan praperadilan ini dalah sesuatu hal yang belum waktunya diajukan atau masih sangat prematur diajukan mengingat BG masih dalam status tersangka bukan terdakwa yang telah dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan. Ketiadaan penetapan atau putusan pengadilan aquo atau dilakukannya tindakan lain dalam putusan perkaranya semisal pencabutan hak untuk mengikuti pemilu atau hak lain yang ditentukan KUHP maka sangatlah prematur permohonan yang diajukan kuasa hukum BG melalui praperadilan.

Mengingat prematurnya alasan pengajuan permohonan tersebut maka selayaknya pengadilan menolak permohonan praperadilan BG yang beralaskan Pasal 63 UU KPK juncto Pasal 95 KUHAP. Karena apabila yang diuji adalah penetapan tersangka itu sama saja menguji wewenang menyidik KPK dalam perkara korupsi atau sama saja menguji penerapan presumption of guilty yang melekat pada kewenangan penyidik dalam penyidikan suatu perkara pidana, dimana pemberian atribusi tersangka dilakukan karena kewenangan penyidik untuk menyangka seseorang atas suatu perkara pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundangan yang berlaku.

Penjelasan Pasal 80 KUHAP
Dalam berbagai media juga diwartakan bahwa tim kuasa hukum BG memperbaiki permohonan praperadilannya dengan menambahkan penggunaan dalil penjelasan Pasal 80 sebagai alasan yang kuat dalam pengajuan praperadilan aquo.  Adapun bunyi penjelasan Pasal 80 tersebut adalah sebagai berikut:

“Pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara horizontal.”

Kalimat yang digunakan dalam penjelasan tersebut tidak dapat dipisahkan dari ketentuan substantif dari Pasal 80 KUHAP itu sendiri yang mengatur tentang pengajuan yang dilakukan oleh penyidik, penuntut atau pihak ketiga berkepentingan dalam rangka penghentian penyidikan atau penuntutan. Dimana pengajuan permohonan dilakukan secara saling silang dalam rangka pengawasan horizontal diantara aparat penegak hukum (penyidik atau penuntut umum) serta pihak ketiga berkepentingan (korban misalnya, red).

Sekali lagi bahwa penggunaan pasal ini digunakan untuk kepentingan penghentian penyidikan atau penuntutan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut, mengingat Pasal 40 UU KPK dimana KPK tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan maka penggunaan pasal ini menjadi tidak beralasan atau tidak pantas.  Dalam hal pengajuan alasan permohonan praperadilan dengan mengunakan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ini maka sekali lagi dapatlah dinyatakan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan adalah permohonan yang sangat prematur untuk diajukan, sehingga sepatutnya ditolak penggunaan alasan ini dalam permohonan praperadilan aquo.

Penutup
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) memang terdapat kalimat bahwa mengajukan permohonan praperadilan adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam hal terdapat kerugian sebagai akibat dilakukannya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh KPK. Namun sekali lagi dalam hal siapa yang dapat mengajukan praperadilan terhadap KPK hanyalah pihak ketiga yang terkait dengan tindakan kepolisian yang dilakukan oleh KPK yang ternyata bahwa tindakan tersebut belakangan terbukti tidak memiliki alasan hukum atau salah orang (error in persona) atau terdakwa yang diputus tidak bersalah atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Maka dari segi pihak yang dapat mengajukan praperadilan terhadap penerapan kewenangan KPK dalam penyidikan dan penuntutan sejatinya tidak dapat diajukan oleh tersangka terkecuali belakangan terbukti bahwa tindakan tersebut telah salah menerapkan hukum atau salah orang (error in persona).

Membaca penjelasan tersebut di atas, selayaknya permohonan praperadilan yang diajukan oleh BG melalui kuasa hukumnya tidak beralasan dan sepatutnya ditolak kedua alasan tersebut oleh hakim tunggal yang memimpin persidangan ini.

*Penulis adalah staf pengajar FHUI dan Kandidat PhD pada University of Canberra
Tags:

Berita Terkait