Soal Hukuman Mati, Menkumham: Tak Ada Grasi Kedua
Berita

Soal Hukuman Mati, Menkumham: Tak Ada Grasi Kedua

YLBHI meminta pemerintah memoratorium pelaksanaan hukuman mati, dilanjutkan dengan penghapusan pasal-pasal yang memberlakukan sanksi hukuman mati dan membenahi sistem peradilan pidana.

Oleh:
YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Menkumham, Yasonna H. Laoly. Foto: RES
Menkumham, Yasonna H. Laoly. Foto: RES
Pemerintah menyatakan tak akan membatalkan niat untuk mengeksekusi terpidana mati tahap kedua di tahun ini. Hal ini tersirat dari pernyataan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly, yang menegaskan bahwa tidak mungkin ada permohonan grasi kedua terkait hukuman mati, termasuk bagi gembong narkoba.

Yasonna mengeluarkan pernyataan itu saat menjawab pertanyaan beberapa wartawan asing, apakah Presiden Joko Widodo mengubah pikirannya dan mempertimbangkan memberikan grasi kedua. "Itu pertanyaan yang harus kamu ajukan ke Presiden. Saya pikir itu tidak mungkin," jawab Yasonna di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (11/2).

Menkumham mengakui bahwa beberapa kedutaan besar negara lain telah berjuang untuk melindungi warga negara dari eksekusi mati di Indonesia. Namun, katanya, hal itu biasa dilakukan oleh setiap pemerintahan dalam upaya melindungi warga negaranya. Menurutnya, pengadilan telah memberikan putusan ancaman hukuman mati dan pihaknya harus menegakkan hukum.

"Ini perang melawan narkoba. Ini merupakan pesan bahwa negara sangat serius memerangi narkoba, terutama pengedar atau gembong narkoba," tegas Yasonna.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerakan Anti Narkoba (GAN), Zulkarnaen Nasution, mengatakan Kejagung harus secepatnya melaksanakan eksekusi terpidana mati kasus narkoba yang telah ditolak permohonan grasinya oleh Presiden Joko Widodo. Menurutnya, pelaksanaan eksekusi mati terhadap napi yang ditolak grasinya telah memiliki kekuatan hukum dan tidak perlu ragu diterapkan.

"Pelaksanaan eksekusi mati tersebut, merupakan kewenangan Kejagung selaku eksekutor dan tinggal menunggu kapan dilaksanakan," ujar Zulkarnaen.

Permohonan grasi terpidana mati kasus narkoba asal Australia yang dikenal "Bali Nine", Andrew Chan, telah ditolak oleh Presiden Joko Widodo. Penolakan grasi itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 9/G Tahun 2015 tertanggal 17 Januari 2015. Sebelumnya, satu terpidana mati anggota Bali Nine lainnya, Myuran Sukumaran, sudah ditolak permohonan grasinya pada 30 Desember 2014. Saat ini terdapat 64 terpidana mati yang akan dieksekusi dan dilakukan setiap bulannya.

Untuk diketahui, Kejagung berencana mengeksekusi 11 terpidana mati tahap kedua, yakni delapan kasus narkotika dan tiga kasus pembunuhan. Ke-11 terpidana mati itu adalah Syofial alias Iyen bin Azwar (WNI) kasus pembunuhan berencana, Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina) kasus narkotika, Myuran Sukumaran alias Mark (WN Australia) kasus narkotika, Harun bin Ajis (WNI) kasus pembunuhan berencana, Sargawi alias Ali bin Sanusi (WNI) kasus pembunuhan berencana, Serge Areski Atlaoui (WN Prancis) kasus narkotika.

Selanjutnya, Martin Anderson alias Belo (WN Ghana) kasus narkotika, Zainal Abidin (WNI) kasus narkotika, Raheem Agbaje Salami (WN Cordova) kasus narkotika, Rodrigo Gularte (WN Brazil) kasus narkotika dan Andrew Chan (WN Australia) kasus Narkotika.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengingatkan seharusnya Presiden Jokowi menyadari bahwa dalam konteks hubungan internasional, ada konsekuensi di mana Indonesia tidak lagi memiliki legitimasi untuk melindungi atau membela TKI yang dihukum mati di negara lain.

Ketua YLBHI Alvon Kurnia mengakui bahwa masyarakat Indonesia memang masih cenderung bersikap retribusionis dalam hal penghukuman. Namun, pada titik ini negara berkewajiban untuk membangun kesadaran hukum dan keadilan sesuai norma kemanusiaan yang adil dan beradab, serta hak asasi manusia.

“Alih-alih membangun peradaban hukum masyarakat, Jokowi malah memanfaatkannya demi tujuan politik populisnya,” ujar Alvon.

Dia mengatakan, di samping argumentasi moral dan etik yang menjadi dasar penghapusan hukuman mati, ada satu aspek yang sangat penting yang mestinya dipahami oleh Jokowi, yaitu fakta bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia masih jauh dari sempurna, bahkan masih sangat korup.

Menurut Alvon, Pelapor Khusus PBB untuk Kemandirian Hakim dan Pengacara pernah mengeluarkan laporan bahwa Indonesia memiliki sistem peradilan terburuk. Kemudian di tahun 2008, menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC), sistem peradilan Indonesia menduduki peringkat terbawah di Asia. Hal yang terbaru menurut World Justice Index 2014, peradilan Indonesia menduduki peringkat ke-12 dari 15 negara-negara di Asia Timur dan Pasifik.

“Sistem peradilan pidana yang buruk, berpotensi besar untuk disalahgunakan dengan menggunakan kekerasan dan kekuasaan,” katanya.

Lebih jauh, Alvon berpandangan hal paling penting dan pokok untuk dilakukan pemerintah adalah melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati. Tentunya langkah moratorium harus dilanjutkan dengan penghapusan pasal-pasal yang masih memberlakukan sanksi hukuman mati dan membenahi sistem peradilan pidana. 

Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi mengungkapkan, setidaknya ada 229 warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri terancam hukuman mati. "Berdasarkan data 229 WNI terancam hukuman mati. Paling banyak di Malaysia, kedua di Saudi (Arabia)," kata Retno.

Retno mengungkapkan bahwa 229 WNI yang terancam mati paling banyak didominasi kasus narkoba dan pembunuhan. Namun, ia mengatakan bahwa presiden tetap memberikan arahan adanya komitmen kehadiran negara. Kehadiran negara itu dalam bentuk bantuan hukum (lawyer), menghadirkan keluarga untuk bertemu WNI yang menghadapi masalah hukum, upaya diplomasi dengan melibatkan tokoh setempat untuk memperkenalkan dewan pemaaafan setempat.

"Jadi intinya komitmen kita adalah negara hadir dalam bentuk pendampingan hukum dan bantuan kepada para WNI, termasuk terancam hukuman mati," kata Retno.
Tags:

Berita Terkait