Akademisi FH UKI Kritik Pemerintah
Penanganan Outsourcing:

Akademisi FH UKI Kritik Pemerintah

Anggota DPR soroti arah revisi UU Ketenagakerjaan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Muchtar Pakpahan. Foto: www.muchtarpakpahan.com/
Muchtar Pakpahan. Foto: www.muchtarpakpahan.com/
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) sekaligus pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI), Muchtar Pakpahan, menilai pemerintah Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) tidak serius membenahi masalah ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya outsourcing. Itu terlihat dari banyaknya kasus-kasus yang dialami buruh outsourcing yang tidak tuntas. Diantaranya, kasus outsourcing yang terjadi di BUMN.

Walau DPR sudah membentuk panja outsourcing untuk membenahi masalah tersebut, tapi Sampai sekarang Muchtar belum melihat ada perbaikan. Ia menilai sampai sekarang pemerintah tidak punya kemauan yang serius membenahi masalah outsourcing. “Tidak ada perbaikan signifikan dibidang ketenagakerjaan, termasuk outsourcing,” katanya kepada hukumonline di gedung PHI Jakarta, Kamis (12/2).

Menurut Muchtar masalah ketenagakerjaan muncul karena banyak sebab., salah satunya karena pengawasan ketenagakerjaan lemah. Pengawasan belum sesuai harapan, terbukti masih ada pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Misalnya, buruh outsourcing mengerjakan jenis pekerjaan inti. Padahal mengacu UU Ketenagakerjaan, itu tidak boleh.

Revisi Permenakertrans No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain menjadi Permenaker No. 27 Tahun 2014 juga dinilai tidak memperbaiki praktik outsourcing. Malah, Muchtar melihat Permenaker yang diundangkan 31 Desember 2014 itu berpotensi semakin mengeksploitasi buruh outsourcing.

“Ini kondisinya semakin gawat kalau perusahaan outsourcing asing dilegalkan masuk ke Indonesia dan memeras tenaga kerja kita,” ujar Muchtar.

Muchtar masih berharap komitmen pemerintah untuk membereskan masalah ketenagakerjaan. Salah satu caranya, mengubah UU Ketenagakerjaan dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pemerintah perlu membentuk tim guna mengevaluasi berbagai regulasi terkait ketenagakerjaan.

Sebelumnya, anggota Panja Prolegnas dari PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan usulan pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan jadi prioritas 2015 tidak disepakati. Sehingga, pemerintah menarik usulan tersebut dan akan mengajukan kembali jika sudah ada bahan yang komprehensif sebagai alasan revisi.

“Prinsip saya tak berubah selama arah revisi UU Ketenagakerjaan lebih condong, terindikasi, lebih pada upaya pihak-pihak tertentu melemahkan posisi kaum buruh, apalagi memiskinkan pekerja, selama itu juga di parlemen saya akan berjuang untuk menggagalkan revisi,” tegas Rieke.

Anggota Komisi IX DPR itu menegaskan tidak anti revisi UU Ketenagakerjaan. Cuma, ia ingin revisi bisa menghasilkan perangkat hukum yang memberi kepastian, perlindungan dan akses kepada kaum buruh untuk memperoleh kerja layak. “Revisi UU Ketenagakerjaan tak boleh menjadi bagian pelanggengan politik upah murah,” ujarnya.

Rekan Rieke di Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning, mendorong serikat buruh untuk menagih janji Presiden Jokowi tentang Tiga (Tri) Layak. Menurutnya, kaum buruh patut mengingatkan Presiden Jokowi agar janji itu dilaksanakan. "Para buruh harus ingatkan Jokowi untuk penuhi janjinya mewujudkan tiga layak yakni layak upah, layak kerja, dan layak hidup," paparnya.

Selain tagih janji Jokowi, dikatakan Ribka, buruh juga harus menagih janji Menaker, Hanif Dhakiri, untuk melakukan revolusi mental bidang ketenagakerjaan.

Terkait revisi UU Ketenagakerjaan, Ribka menyarankan lebih baik DPR menyelesaikan masalah outsourcing di BUMN. "Bagi saya, masih terlalu jauh membahas revisi UU Ketenagakerjaan. lebih baik Komisi IX DPR membahas kembali Panja Outsourcing BUMN, panggil saja dulu Meneg BUMN," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait