UU Telekomunikasi Dinilai Rentan Penafsiran Ganda
Berita

UU Telekomunikasi Dinilai Rentan Penafsiran Ganda

Sudah saatnya UU Telekomunikasi ditinjau ulang.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Komisioner BRTI, Nonot Harsono. Foto: Facebook
Komisioner BRTI, Nonot Harsono. Foto: Facebook
UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dinilai rentan dengan penafsiran ganda. Akibatnya, peraturan tersebut menjadi rancu dan mudah disalahartikan. Pasalnya, UU Telekomunikasi masih tidak tegas dan jelas dalam menjabarkan pengaturan.

Sebut saja pengaturan terkait jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan jaringan telekomunikasi khusus. Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Nonot Harsono, mengatakan UU Telekomunikasi tidak tegas dan jelas memisahkan ketiga hal itu. Dengan demikian, Nonot khawatir akan muncul ketidakpastian hukum ketika UU tersebut diimplementasikan.

“Harus diperjelas dan dipertegas pemisahan antara jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan jaringan telekomunikasi khusus,” kata Nonot di Jakarta, Rabu (11/2).

Oleh karena itu, Nonot pun mengatakan bahwa UU Telekomunikasi sudah saatnya untuk ditinjau ulang. Ia mendorong agar pemerintah bisa merevisi UU Telekomunikasi dengan memperjelas pengaturan yang lebih spesifik. Menurutnya, hal ini penting untuk mendukung iklim investasi sektor telekomunikasi di Indonesia.

Senada dengan Nonot, Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Samuel Abrijani Pengarepan, juga menilai UU Telekomunikasi harus segera direvisi. Terkait dengan hal itu, APJII mendorong Indar untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) atas dakwaan korupsi dan merugikan negara. Ia berharap nantinya pengaturan mengenai penyedia jaringan, penyedia jasa, dan jaringan telekomunikasi khusus bisa diatur dalam UU masing-masing.

“Makanya kami berharap UU penyedia jaringan, UU penyedia jasa, dan Telsus dirombak agar tidak tumpang-tindih,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, IM2 dan Indosat tersandung kasus akses Internet broadband melalui jaringan 3G Indosat. mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2), Indar Atmanto yang saat ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, dinyatakan melakukan korupsi dalam penggunaan jaringan 2,1 GHz/3G PT Indosat selama 2006-2012. Tindakan Indar dinilai menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 1,36 triliun. Kejaksaan menilai, sebagai penyelenggara jasa telekomunikasi, IM2 telah memanfaatkan jaringan bergerak seluler frekuensi 3G tanpa izin resmi dari pemerintah.

Selain IM2 yang diwakili Indar, penandatanganan perjanjian kerja sama tentang Akses Internet Broadband melalui jaringan 3G/HSDPA Indosat dilakukan juga oleh 300 penyelenggara jasa Internet lainnya. Adapun Indosat sendiri diwajibkan untuk membantu, sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Komunikasi.

Padahal, dalam peraturannya, kerja sama seperti ini diperbolehkan. Menurut Samuel, dalam kasus ini, IM2 sebagai penyedia jasa akses internet (ISP) sudah sewajarnya bermitra dengan PT Indosat selaku penyedia jaringan seluler. Sebab, pelanggan IM2 memerlukan kartu SIM yang disediakan Indosat agar dapat mengakses jaringan seluler. Samuel menambahkan, IM2 dan Indar tak sendirian melakukan praktek bisnis seperti itu.

“Kasus serupa bisa menimpa pengusaha bidang serupa, dan akan menjadi kiamat bagi ISP Indonesia. Semua internet service provider (ISP) seharusnya masuk kategori jasa karena memiliki jaringan baik dari Indosat, Telkomsel maupun operator lainnya,” kata Semuel.

Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin, menilai ada kejanggalan pada kasus IM2 dalam perkara No.01/pid.Sus/2013/PN.JKT.PST dengan dua putusan MA yang berbeda. Ia pun berpendapat, wajar jika para pelaku industri telekomunikasi menentang terhadap penetapan Indar Atmanto sebagai terdakwa.

Ia menuturkan, perbuatan Indar dalam menandatangani perjanjian kerja sama tentang Akses Internet Broadband melalui jaringan 3G/HSDPA Indosat sudah sesuai dengan peraturan perundangan pertelekomunikasian yang dilakukan oleh 300an ISP (penyelenggara jasa internet) dan sangat menunjang perekonomian nasional.

“Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan kepastian hukum kepada ISP,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait