Pengawas Internal Dituntut Ketat Awasi Pelaksanaan BPJS
Berita

Pengawas Internal Dituntut Ketat Awasi Pelaksanaan BPJS

Agar peserta bisa menerima manfaat sebagaimana mandat peraturan perundang-undangan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Elkape. Foto: http://elkape.org
Elkape. Foto: http://elkape.org
Untuk menjaga keberlanjutan program jaminan sosial yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan, peran pengawas internal sangat penting. Menurut pengamat kebijakan jaminan pensiun asal Belanda, Peter Gortzak, pengawas internal dituntut mampu mengawasi pelaksanaan sistem jaminan sosial di masing-masing lembaga itu secara ketat.

“Pengawasan internal sangat penting, harus dilakukan secara ketat untuk mengawasi sistem yang berjalan,” kata Peter dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Analisis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape) di Jakarta, Jumat (13/2).

Peter mengatakan pengawasan program Jaminan Pensiun (JP) yang akan mulai 1 Juli 2015 penting untuk memastikan pengelolaannya dilaksanakan dengan benar. Apalagi mempertimbangkan sekitar 70 persen buruh di Indonesia digaji di bawah upah minimum. Menurut dia, ini akan mempengaruhi kemampuan badan penyelenggara dalam membayar manfaat yang nanti diterima peserta dalam kurun waktu tertentu.

Banyak cara yang bisa digunakan BPJS TK sebagai penyelenggara program JP agar mampu membayar manfaat kepada peserta. Misalnya meningkatkan besaran iuran dan resiko investasi. Mantan Wakil Presiden FNV (Konfederasi Serikat Pekerja Belanda) itu melihat membeli obligasi pemerintah merupakan salah satu bentuk investasi yang resikonya relatif sedikit bagi BPJS TK. Namun, keuntungan yang diperoleh tergolong kecil. Dengan meningkatkan resiko investasi, biasanya keuntungan dari pengelolaan dana cenderung lebih besar.

Selain itu, Peter mengapresiasi regulasi terkait jaminan sosial di Indonesia yang melibatkan pemerintah dalam menyediakan dana kontingensi bagi BPJS ketika tidak mampu membayar klaim atau manfaat kepada peserta. Misalnya, ketika BPJS Ketenagakerjaan tidak sanggup membayar manfaat JP kepada pesertanya, maka pemerintah turun tangan dengan cara mengucurkan dana kontingensi.

Belajar dari pengalaman Belanda, Peter mengingatkan agar dana kontingensi ada secara riil, bukan di atas kertas. Kalau hanya di atas kertas, pembayaran manfaat JP akan terkendala. “Harus ada dana yang nyata untuk menjamin kepastian pembayaran manfaat JP kepada peserta,” tegasnya.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Hasbullah Thabrany, menilai jajaran direksi BPJS dan pengawas internal (Dewan Pengawas) yang ada saat ini tidak dipilih berdasarkan proses yang terbuka. Padahal, keterbukaan itu penting untuk mendapatkan orang yang terbaik. Pemilihan itu mestinya dilakukan secara terbuka lewat proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Dengan begitu masyarakat bisa mengawasi dan memberi masukan. “Itu belum terealisasi sampai sekarang,” ujarnya.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan ketentuan kontingensi diatur dalam Pasal 56 UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Ia mengusulkan agar dana kontingensi atau talangan itu tidak dialokasikan sekaligus dengan memasukannya dalam APBN. Tapi diberikan secara rutin dan berkala kepada BPJS. “Sehingga, jika BPJS Ketenagakerjaan gagal memenuhi kewajiban membayar manfaat pensiun kepada peserta maka ada 'tabungan' yang siap digunakan untuk membayar,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait