Kolektif Kolegial Pimpinan KPK Dalam Pelaksanaan Kewenangan
Kolom

Kolektif Kolegial Pimpinan KPK Dalam Pelaksanaan Kewenangan

Tidak masuk akal sebenarnya, jika pelaksanaan tugas dan wewenang KPK di dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana luar biasa kemudian didesain secara ceroboh.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
I. Alasan Pendirian, Tugas dan Wewenang Khusus KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi("KPK") berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ("UU KPK"), adalah Instansi Penegak Hukum independen dalam tugas dan wewenang khususnya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagaimana disebutkan dalam Konsideran Menimbang dari UU KPK, alasan-alasan dari didirikannya KPK adalah:
  • Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai diundangkannya UU KPK dianggap belum dilaksanakan secara optimal (in casu oleh Kepolisian dan Kejaksaan), sehingga pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan dan perekonomian negara maupun menghambat pembangunan nasional; dan
  • Lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi (in casu Kepolisian dan Kejaksaan) belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi yang diakui telah terjadi secara sistematik dan meluas, sehingga tidak hanya merugikan keuangan Negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
Berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 ("UU Anti Korupsi"), tindak pidana korupsi karenanya dikualifikasikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) yang pemberantasannya perlu dilakukan dengan cara yang luar biasa pula.

Dalam hal ini, tugas pemberantasannya yang menggunakan cara yang luar biasa diletakkan pada KPK. Adapun tugas dari KPK secara rinci adalah:
  1. melakukan koordinasi dengan Instansi lainnya yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (in casu Kepolisian dan Kejaksaan);
  2. melakukan supervisi terhadap Instansi lainnya yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (in casu Kepolisian dan Kejaksaan);
  3. melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
  5. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
II. Keputusan Dewan Komisioner KPK

Berdasarkan Pasal 21 UU KPK, KPK dipimpin oleh Dewan Komisioner yang beranggotakan lima orang Komisioner dalam kedudukannya sebagai pejabat negara yang harus bekerja memimpin KPK secara kolektif selaku penyidik dan penuntut umum, dengan salah seorang di antara mereka berkedudukan sebagai ketua serta yang lainnya berkedudukan sebagai wakil-wakil ketua.

Menjadi pertanyaan kita, sebagaimana dipermasalahkan oleh Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan dalam permohonan praperadilan terhadap KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, apakah pelaksanaan kewenangan KPK dalam memutuskan dan menetapkan seseorang sebagai tersangka pelaku tindak pidana korupsi harus didasarkan pada keputusan dari seluruh Komisioner KPK tersebut?

Tidak masuk akal sebenarnya, jika pelaksanaan tugas dan wewenang KPK di dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana luar biasa kemudian didesain secara ceroboh, tanpa memperhitungkan akan dengan mudah terhambatnya apabila satu atau beberapa Komisioner berhalangan ikut memutuskan dan menetapkan bagi dilakukannya suatu penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan suatu tindak pidana korupsi.

Jika benar aturan tersebut diartikan mutlak tanpa perkecualian, maka situasi yang sangat berbahaya bagi program pemberantasan tindak pidana korupsi secara umum maupun bagi keselamatan diri komisioner-komisioner KPK secara khusus akan terjadi. Para pelaku tindak pidana korupsi dan atau orang-orangnya akan memiliki peluang untuk melakukan tindakan jahatnya guna "melenyapkan" satu saja di antara komisioner-komisioner KPK tersebut bagi terhambatnya penyelidikan, penyidikan ataupun penuntutan terhadap dirinya.

Untuk itu, menurut hemat Penulis, tidak mungkin hal tersebut tidak terpikirkan oleh pembentuk undang-undang yang menyusun, membahas, mengesahkan dan mengundangkan UU KPK. Tidak mungkin pula hal tersebut tidak terpikirkan oleh para ahli yang berkontribusi dalam penyusunan dan pembahasan rancangannya dahulu.

III. Delegasi Kewenangan Komisioner-komisioner KPK

Mitigasi terhadap risiko-risiko bagi keberlangsungan pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK maupun bagi keselamatan seluruh Komisioner KPK sebagaimana disebutkan di atas sebenarnya dimungkinkan berdasarkan Pasal 25 UU KPK, dengan diberikannnya kewenangan kepada Dewan Komisioner untuk memutuskan:
  • kebijakan dan tata kerja organisasi mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang KPK;
  • pengangkatan dan pemberhentian Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala Sub-Bidang dan Pegawai yang bertugas pada KPK; dan
  • penentuan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.
Dengan demikian, dimungkinkan berdasarkan suatu keputusan dari Dewan Komisioner KPK untuk dibentuknya dan diberlakukannya suatu Peraturan KPK yang mengatur terdapatnya delegasi dari kewenangan-kewenangan yang melekat pada setiap komisioner KPK, baik antar komisioner KPK sendiri maupun antara komisioner-komisioner KPK dengan bawahan-bawahannya, untuk memutuskan dan menetapkan secara sah segala hal yang berkaitan dengan seluruh tugas dan kewenangan KPK secara umum (dalam mewujudkan pola kerja yang sistematis dan efisien hingga mampu secara efektif mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan) ataupun yang berkaitan dengan tugas dan kewenangan KPK dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi secara khusus.

Dalam hal ini, harus dipahami pula bahwa Peraturan KPK yang diputuskan oleh Dewan Komisioner KPK adalah merupakan peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang menjadi peraturan pelaksanaan yang sah dari UU KPK berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan KPK yang sedemikian itu diakui keberadaannya dalam tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia dan karenanya memiliki kekuatan hukum mengikat umum sebagai suatu peraturan perundang-undangan akibat dipenuhi persyaratannya, yaitu diperintahkan pembentukannya oleh Pasal 25 UU KPK dan dibentuk berdasarkan keputusan seluruh Komisioner KPK yang berwenang untuk itu.

Dengan demikian, jika benar terdapat Peraturan KPK yang mengatur mengenai dilakukannya delegasi kewenangan berkaitan dengan organisasi dan tata kerjanya (mengingat memang dimungkinkan untuk berhalangan sementara atau tetapnya satu atau beberapa Komisioner-komisioner KPK), sebagaimana dikemukakan oleh para Kuasa Hukum KPK dalam persidangan pemeriksaan Gugatan Pra-Peradilan oleh Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Delegasi kewenangan mana adalah baik antar komisioner KPK ataupun antara komisioner-komisioner KPK dengan bawahan-bawahannya untuk memutuskan dan menetapkan secara sah segala hal yang berkaitan tugas dan kewenangan KPK dalam pelaksanaan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi sehingga tidak perlu keputusan dan penetapan menyangkut hal-hal tersebut harus selalu diambil oleh seluruh (kelima) Komisioner KPK, maka keputusan dan penetapan oleh sebagian Komisioner KPK atau bahkan oleh bawahan-bawahannya berdasarkan Peraturan KPK tersebut adalah sah.

* Penulis adalah Advokat di Jakarta, Anggota Perhimpunan Advokat Indonesia.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait