Putusan Hakim Sarpin Terobosan atau Kekhilafan?
Kolom

Putusan Hakim Sarpin Terobosan atau Kekhilafan?

Terobosan dan/atau penemuan hukum hanya dapat dilakukan dalam hal tidak adanya dan/atau terdapat ketidakjelasan tentang suatu pengaturan hukum.

Bacaan 2 Menit
Tiur Henny Monika Foto: Koleksi Pribadi Penulis [edit]
Tiur Henny Monika Foto: Koleksi Pribadi Penulis [edit]
“Geef me goede rechter, goede Rechter Commissarissen, goede officieren van justitie en goede Politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprosesrecht het goede beruken (Bukan rumusan undang-undangnya yang menjamin kebaikan pelaksanaan hukum acara pidana, tetapi hukum acara pidana yang jelek sekalipun dapat menjadi baik jika pelaksanaannya ditangani oleh aparat penegak hukum yang baik)- Taverne
Entah harus memulai tulisan ini dari mana. Tapi secara objektif sebagai seorang sarjana hukum, saya amat prihatin melihat penegakan hukum yang terjadi saat ini, yang berdalih dengan mengatasnamakan terobosan hukum. Sekali lagi, legalitas hukum di negeri ini diinjak-injak. Alih-alih kepentingan politik atau pihak-pihak tertentu, sekali lagi pedang Dewi Keadilan yang mana merupakan simbol hukum di negeri ini, lagi-lagi harus tercoreng.

Secara objektif sebagai seorang sarjana hukum yang juga bekerja sebagai praktisi hukum, khususnya hukum acara, saya merasa prihatin atas apa yang dielu-elukan sebagai terobosan dan/atau penemuan hukum terkait putusan praperadilan Budi Gunawan di PN Jakarta Selatan.

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 jo.Pasal 77 KUHAP, tugas praperadilan di Indonesia terbatas. Praperadilan hanya dapat dilakukan terhadap upaya-upaya paksa yang memang telah diatur secara limitatif di dalam KUHAP, yaitu terhadap penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dan ganti kerugian atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dan penuntutan. KUHAP yang hingga saat ini masih menjadi satu-satunya dasar hukum praperadilan tidak memberikan kesempatan/alasan-alasan lain selain yang disebut di atas untuk dapat dilakukannya upaya hukum praperadilan. Mengapa? Kembali lagi kepada filosofis dilaksanakannya upaya hukum praperadilan itu sendiri.

Upaya hukum praperadilan itu sendiri pada dasarnya bertujuan untuk melindungi hak asasi tersangka sehubungan dengan tindakan-tindakan upaya paksa yang mungkin dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka. Pada hakekatnya, upaya paksa merupakan tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana, yang pada dasarnya merampas kemerdekaan dan kebebasan serta merupakan suatu pembatasan hak asasi tersangka.

Oleh karenanya, terhadap tindakan-tindakan penyidik tersebut oleh KUHAP, lembaga praperadilan bertujuan sebagai pengawasan horizontal atas tindakan-tindakan upaya paksa yang dikenakan pada tersangka. Sehingga diharapkan tersangka dan/atau terdakwa, bahkan terpidana sekalipun dapat diadili dalam suatu sistem peradilan yang benar-benar mengemban independent juducial power without encroachments by government or political parties.

Menurut hemat penulis, penetapan tersangka Budi Gunawan pada perkara nomor 04/Pid/Prap/2015/PN Jkt Sel., bukanlah merupakan objek dari upaya hukum praperadilan. Karena, berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penetapan tersangka bukanlah merupakan suatu objek praperadilan. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya penetapan sebagai tersangka belum merupakan suatu tindakan paksa yang merampas kemerdekaan dan/atau merampas hak asasi seseorang. Tindakan-tindakan yang mengikuti penetapan seseorang sebagai tersangka-lah yang dapat dikatakan sebagai suatu tindakan merampas kemerdekaan, contoh: penangkapan dan penahanan.

Selain itu, tidak tepat apabila dikatakan penetapan tersangka Budi Gunawan merupakan perluasan objek dan/atau ruang lingkup upaya hukum praperadilan, yang kemudian dianggap sebagai terobosan dan/atau penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim yang memeriksa perkara a quo. Mengapa? Karena terobosan dan/atau penemuan hukum itu sendiri hanya dapat dilakukan dalam hal tidak adanya dan/atau terdapat ketidakjelasan tentang suatu pengaturan hukum.  

Selanjutnya, apakah terhadap putusan praperadilan ini masih dapat dilakukan upaya hukum? Pada dasarnya putusan praperadilan bersifat final dan tetap. Terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum banding. Bahkan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Nomor: 40/PUU-IX/2011 telah mencabut ketentuan Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Artinya, terhadap putusan praperadilan tidak mungkin dilakukan upaya hukum banding.

Kemudian, apakah terhadap putusan praperadilan dapat dilakukan upaya hukum kasasi? Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, terhadap putusan praperadilan tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi. Berbagai putusan dan yurisprudensi tetap telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang pada intinya menyatakan bahwa terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.

Lantas bagaimana dengan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali? Hakim sebagai manusia, tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan. Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, dalam hal putusan jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, terhadap putusan tersebut dapat dilakukan upaya hukum peninjauan kembali. Menurut hemat penulis, upaya hukum inilah yang mungkin dilakukan oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Putusan Nomor 04/Pid/Prap/2015/PN Jkt Sel.

Permohonan peninjauan kembali terhadap putusan praperadilan itu sendiri sudah pernah diajukan terhadap Putusan Nomor:02/Pid/PK/1988/PN.Stb. Mahkamah Agung memerintahkan Pengadilan Negeri Stabat untuk memeriksa kembali putusan atas perkara  a quo. Selanjutnya, Mahkamah Agung juga pernah menerima dan mengabulkan upaya hukum peninjauan kembali dalam Putusan Nomor: 4/PK/Pid/2000 dan Putusan Praperadilan Nomor 05/Pid.Prap/2007/PN.Jkt.Sel. Dengan demikian, jelaslah bahwa terhadap putusan praperadilan dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali.

Akhir kata, yang dapat saya sampaikan sekaligus sebagai bentuk keprihatinan saya terhadap penegakan hukum di negeri ini, Putusan Nomor 04/Pid/Prap/2015/PN Jkt Sel yang memutus penetapan tersangka Budi Gunawan sebagai ruang lingkup upaya hukum praperadilan adalah merupakan suatu bentuk kekeliruan yang nyata dan/atau kekhilafan hakim. Dan terhadap kekeliruan atas putusan tersebut sebaiknya dilakukan upaya hukum peninjauan kembali.

-Fiat justitia, et pereat mundus-

* Advokat pada MAFTA Law Firm
Tags:

Berita Terkait