Alotnya Revisi UU Migas Lantaran Bersinggungan Banyak Aspek
Utama

Alotnya Revisi UU Migas Lantaran Bersinggungan Banyak Aspek

Seharusnya aturan baru bisa meningkatkan produksi dan investasi.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: www.esdm.go.id
Foto: www.esdm.go.id
Sudah berkali-kali UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi masuk ruang sidang Mahkamah Konstitusi. Telah banyak ketentuan yang dibatalkan dan direvisi oleh MK. Namun, revisinya tak kunjung selesai. Padahal, sejak tahun 2010 UU Migas selalu masuk prioritas dalam program legislasi nasional.

Anggota Komisi VII DPR RI, Satya Yudha, mengakui proses revisi UU Migas memang cukup alot. Menurutnya, ada beberapa hal yang mempengaruhi alotnya pembahasan RUU yang satu ini, di antaranya migas sebagai sumber daya alam strategis tidak terbarukan merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, menurutnya, harus dicari formulasi aturan agar pengelolaannya bisa optimal untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Di sisi lain, Yudha menilai bahwa saat ini kegiatan usaha migas cenderung mengarah kepada liberalisasi. Akibatnya, penggodokan aturan mengenai migas menjadi bersinggungan dengan banyak aspek ekonomi. Namun dia menegaskan, pengelolaan migas harus mampu membawa dampak positif bagi kesejahteraan rakyat.

“Sektor migas tidak hanya sebagai sumber pendapatan negara, tapi harus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya, Selasa (24/2).

Kepala Bagian Bantuan Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM, Agus Salim, menilai ada beberapa aspek yang harus segera dituntaskan dalam revisi UU Migas, antara lain posisi negara dalam pemanfaatan sumber daya alam harus kuat. Menurutnya, Pasal 33 UUD 1945 harus menjadi prinsip dasar pengelolaan dan pengusahaan migas. Dengan kata lain, hak kepemilikan atas migas ada pada negara dan negara sendiri harus memperoleh keuntungan.

Namun ia mengingatkan, keuntungan negara seharusnya bukan didapat dari faktor yang merugikan investor. Di sisi lain, Agus juga menekankan pentingnya aturan yang memastikan tak ada keuntungan bagi pihak asing dalam pengelolaan migas. Hanya saja, Agus berharap revisi UU Migas bisa memperjelas aturan yang mendukung investasi.

“Pengusahaan di bidang migas tidaklah sama dan sebangun dengan pengusahaan di bidang sumber daya alam lainnya, seperti mineral atau batu bara. Apalagi, jika dibandingkan dengan pengusahaan di bidang properti atau jalan tol,” ujarnya.

Ia mengatakan, pengelolaan migas harus didasari pemahaman yang komprehensif terhadap jenis bisnis ini. Dia mencontohkan, minyak terdapat di dalam lapisan batuan reservoar. Untuk memastikan apakah di bawah perut bumi ada minyak atau tidak, diperlukan seperangkat aktivitas, mulai survei geologi sampai dengan eksplorasi dan eksploitasi.

Setelah diyakini sepenuhnya bahwa di lokasi tertentu ada minyak, baru kemudian dibor dan diangkat, itu pun tidak bisa seluruhnya terangkat. Artinya, mengangkat minyak dari bumi pertiwi memerlukan infrastruktur, tenaga ahli, modal yang sangat besar, teknologi tinggi.

Agus menegaskan, bisnis migas merupakan bisnis dengan risiko tinggi. Oleh karena itu, perusahaan yang bergerak di industri migas tidak sebanyak di industri media cetak dan elektronik.

Agus menilai, masalah migas yang muncul selama ini lebih disebabkan oleh faktor manusia. Ia menilai bahwa kontrak jual-beli gas, masalah lifting, cost recovery, dugaan penyimpangan-penyimpangan di subsektor migas bukan karena pengaturan yag liberal. Dengan demikian, Agus melihat tak ada liberalisasi pengelolaan migas saat ini.

Lebih lanjut, ia menuturkan perubahan UU Migas harus bertujuan untuk meningkatkan produksi. Selain itu, dia berharap aturab baru di bidang migas itu bisa menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Bukan sebaliknya, membuat investor takut.

“Seharusnya ketentuan yang tercantum dalam revisi UU Migas itu terkait dengan kehutanan, lingkungan hidup, pelayaran, perpajakan, perimbangan keuangan pusat dan daerah, penanaman modal. Bukan prosedur kontrak kerja sama yang lebih panjang dan berbelit karena harus dikonsultasikan dengan DPR dulu,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait