Compang-camping UU Migas
Berita

Compang-camping UU Migas

Banyak ketentuan yang telah direvisi dan dicabut melalui putusan MK.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Sejak disahkan hampir empat belas tahun lalu, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah bolak-balik dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tercatat, MK telah tiga kali melakukan pembatalan pasal yang ada dalam UU Migas. Telah banyak pasal yang direvisi bahkan dinyatakan tidak berlaku. Jika diibaratkan sebuah pakaian, UU Migas bisa dibilang sebuah baju yang telah compang-camping.

Berikut putusan-putusan MK terkait dengan UU Migas:

1. Putusan MK No. 002/PPU-I/2003
Pada tahun 2003, untuk pertama kalinya UU Migas diajukan pengujian materil. Dari enam pemohon pengujian hanya satu pihak yang merupakan perorangan, sisanya adalah organisasi masyarakat sipil. Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk mencabut UU Migas.

Namun, tanggal 21 Desember 2004 kesembilan hakim konstitusi memutuskan hanya mengabulkan sebagian permohonan. MK hanya mencabut pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) yang menyerahkan penentuan harga BBM dan gas pada mekanisme persaingan. MK berpendapat harus ada ‘campur tangan’ pemerintah dalam kebijakan penentuan harga BBM maupun gas. Sebab, keduanya merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Selain itu, MK juga merevisi sebagian isi dua pasal lainnya. Pertama, pasal 12 ayat (3) yang mengatur kewenangan Menteri ESDM dalam menetapkan badan usaha yang berhak melakukan eksplorasi maupun eksploitasi. Kedua, pasal 22 ayat (1) yang mewajibkan badan usaha menyerahkan seperempat bagian hasil produksinya untuk kebutuhan dalam negeri.

2. Putusan MK No. 20/PUU.V/2007
Jika dalam pengujian pertama para pemohon dari kalangan masyarakat sipil yag tergabung dalam organisasi maupun perorangan, pengujian kedua dilakukan oleh anggota DPR RI. Ada delapan anggota DPR yang menjadi permohon dalam pengujian pada bulan Juni 2007 ini. Mereka adalah Zainal Arifin (PDIP), Sonny Keraf (PDIP), Alvin Lie (PAN), Ismayatun (PDIP), Hendarso Hadiparmono (PDIP), Bambang Wuryanto (PDIP), Drajad Wibowo (PAN), dan Tjatur Sapto Edy (PAN).

Para wakil rakyat itu menguji pasal 11 ayat (2) UU Migas yang mengatur pemberitahuan kepada DPR atas kontrak kerja sama yang telah disepakati pemerintah dan investor. Mereka meminta MK memutus bahwa pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi. Alasannya, DPR seharusnya tak hanya mendapat pemberitahuan atas kontrak yang telah disepakati tetapi juga memberikan persetujuan dalam proses kesepakatan kontrak.

Pada akhirnya, majelis hakim menyetujui sebagian permohonan itu. MK memutus bahwa pasal 11 ayat (2) UU Migas bertentangan dengan pasal 20A dan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hanya saja, MK berpendapat proses kesepakatan kontrak kerja sama bukan mendapat persetujuan, melainkan harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada DPR RI.

3. Putusan MK No.36/PUU.X/2012
Permohonan pengujian UU Migas yang ketiga kali diajukan oleh banyak pihak. Ada tiga puluh orang tokoh dan dua belas organisasi kemasyarakatan yang menjadi pemohon. Mereka menilai bahwa BP Migas tidak memberi manfaat bagi negara dan rakyat Indonesia dan lebih banyak menguntungkan kontraktor asing.

Terkait permohonan pengujian itu, pada tanggal 13 November 2012 MK mengejutkan banyak pihak dengan putusannya. Pasalnya, tidak tanggung-tanggung dalam sebuah putusan lembaga pengawal konstitusi itu membatalkan 18 ketentuan terkait kedudukan, fungsi, dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP migas). Pada intinya, MK berpendapat BP Migas bertentangan dengan konstitusi. Akibatnya, BP Migas harus dibubarkan.

Menindaklanjuti keputusan itu, pada 10 Januari 2013 Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.9 Tahun 2013 tentang pembentukan Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Perpres tersebut menjadi dasar penggantian BP Migas oleh SKK Migas yang menjadi bagian dari pemerintah.
Tags:

Berita Terkait