Aturan Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Digugat
Utama

Aturan Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Digugat

Komunitas advokat dan mahasiswa hukum bawa UU KPK ke Mahkamah Konstitusi. Hakim meminta pemohon memperbaiki legal standing dan dalil permohonan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Polemik penetapan tersangka Abraham Samad dan Bambang Widjojanto bergulir ke MK. Foto: RES
Polemik penetapan tersangka Abraham Samad dan Bambang Widjojanto bergulir ke MK. Foto: RES
Ketentuan pemberhentian sementara yang dialami dua pimpinan KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto akhirnya digugat ke MK. Pemohonnya, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) yang memohon pengujian Pasal 32 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Mereka menganggap ketentuan itu melanggar asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dijamin Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam sidang pendahuluan, Koordinator GMHJ Kurniawan menjelaskan bahwa sesuai UU Kekuasaan Kehakiman, setiap tersangka diadili dan dituntut dalam persidangan harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sementara merujuk UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan tidak mengatur pemberhentian sementara jika pimpinan kedua institusi itu ditetapkan sebagai tersangka.

“Jika kita melihat asas equality before the law dan presumption of innocence itu, aturan itu menjadi bertentangan karena pemberhentian sementara tidak berlaku bagi lembaga kepolisian dan kejaksaan,” tutur Kurniawan dalam persidangan yang dipimpin I Gede Dewa Palguna, Kamis (26/2).

Pasal 32 ayat (2) UU KPK menyebutkan “Dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan diberhentikan sementara dari jabatannya.”

Dia melanjutkan negara sepatutnya menjalankan dan menegakkan prinsip-prinsip negara hukum demi terwujudnya jaminan hak konstitusional warga negara. Karena itu, Pasal 32 ayat (2) UU KPK juga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Menurut pemohon aturan itu mengakibatkan pimpinan KPK akan mudah diberhentikan sementara oleh presiden ketika ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum (Polri) hanya dengan satu laporan dan satu alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Padahal, belum tentu status tersangka tersebut dinaikkan menjadi terdakwa hingga diputus bersalah oleh pengadilan.

“Kewenangan itu sangat besar yang dapat mengakibatkan terjadi manipulasi kasus hanya sekadar menetapkan (pimpinan KPK) sebagai tersangka saja,” lanjut Sekjen FKHK Achmad Saifudin Firdaus.

Pengujian UU ini, kata Saifudin, sejalan dengan putusan MK No. 133/PUU-VII/2009 terkait pengujian pasal yang sama. Kala itu, Mahkamah menjatuhkan putusan sela yang menunda berlakunya Pasal 32 ayat (1) huruf c dan Pasal 32 ayat (3) UU KPK. Dalam pertimbangannya, pasal itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat yang berarti pimpinan KPK dapat diberhentikan secara tetap apabila telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

Lebih lanjut, dia menegaskan berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengakibatkan fungsi KPK menjadi tidak efektif dan menghambat kinerja lembaga itu memberantas korupsi di Indonesia. Terutama, setelah dua pimpinan KPK  Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka terkait menyuruh memberikan keterangan palsu dan pemalsuan dokumen.

“Ini merugikan masyarakat dan menguntungkan para koruptor karena fungsi KPK tidak optimal, sehingga menyuburkan praktik korupsi. Makanya, kita minta MK menghapus Pasal 32 ayat (2) UU KPK karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) dan UUD 1945,” harapnya.

Nasihat hakim
Menanggapi permohonan, Palguna mengingatkan legal standing (kedudukan hukum) para pemohon dipastikan apakah sebagai badan hukum lembaga atau perseorangan. “Ini harus ditegaskan di awal, sebab kerugian konstitusional akan berbeda antara badan hukum dan perseorangan,” kritiknya.

Dia menyarankan agar permohonan fokus pada alasan konstitusionalitasnya atas berlakunya pasal itu dengan UUD 1945. Sebab, apabila ketentuan itu diperbandingkan dengan UU Kepolisian dan UU Kejaksaan dinilai kurang tepat. “Perbandingan dengan UU Polri dan UU Kejaksaan boleh saja disinggung, tetapi jangan menjadi titik tekan/berat. Apa pemohon mintanya pemberhentian sementara berlaku ketika pimpinan KPK menjadi terdakwa atau bagaimana ini juga harus diperjelas dalam alasan permohonan?”

“Sebenarnya permohonan ini kan, Saudara ingin memprovokasi kami dalam persoalan ini. Tetapi, tidak masalah asalkan dalil permohonnnya diperkuat, agar kami bisa ‘tertarik’ dengan pengujian undang-undang ini,” sindirnya.

Anggota panel Suhartoyo mengakui aturan pemberhentian sementara tidak berlaku bagi pimpinan lembaga Polri dan Kejaksaan karena kedua lembaga itu merupakan lembaga karier yang sejak dulu sudah ada. Berbeda dengan jabatan yang ada komisi negara yang persyaratannya bersifat ketat seperti KPK.

“Apalagi, semangat dibentuknya KPK sangat spesifik, berbeda dengan semangat pembentukan Kepolisian dan Kejaksaan yang terikat dengan ketentuan PNS. Apakah permohonan ini tidak kontraproduktif?” kritiknya.

Anggota panel lainnya, Aswanto menilai permohonan lebih banyak menguraikan perbandingan dengan UU Kepolisian dan UU Kejaksaan yang tidak mengatur pemberhentian sementara bagi pimpinannya. Sementara permohonan ini belum menguraikan teori yang menggambarkan bagaimana hak hukum dan politik pimpinan KPK tidak hilang ketika ditetapkan sebagai tersangka. “Ini perlu dimasukkan dan diperbaiki agar bisa meyakinkan Mahkamah,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait