Lima Hal Krusial dalam Revisi UU Perkawinan
Prolegnas 2015-2019:

Lima Hal Krusial dalam Revisi UU Perkawinan

Bergantung pada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
M-22/MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pernikahan. Foto: SGP
Ilustrasi Pernikahan. Foto: SGP
DPR dan DPD mengusulkan perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Usulan itu kini sudah masuk Program Legislasi Nasional 2015-2019. Meskipun tak masuk prioritas tahun ini, revisi UU Perkawinan kemungkinan bakal mendapat perhatian banyak pihak, sebagaimana dulu kelahiran UU No. 1 Tahun 1974.

Dari perbincangan hukumonline dengan aktivis perempuan LBH APIK Erna Ratnaningsih, dan dosen Fakultas Syar’iyah dan Hukum UIN Ciputat Nurul Irfan terungkap setidaknya lima hal krusial yang perlu dibahas pembentuk Undang-Undang kelak. Tentu saja, ada kemungkinan masalah lain muncul dalam pembahasan.

1.  Usia menikah
Dalam UU Perkawinan 1974, batas minimal usia nikah bagi perempuan 16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun. Irfan dan Erna setuju agar batas usia nikah bagi perempuan minimal 18 tahun. Ini juga sejalan dengan batas usia anak yang disebutkan dalam UU Perlindungan Anak. “Kalau (UU Perkawinan) mau direvisi, boleh juga disesuaikan minimal usia perkawinan menjadi 18 tahun, disesuaikan dengan UU Perlindungan Anak,” jelas Irfan.

Batas usia perkawinan 16 tahun ini telah dipersoalkan sejumlah kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sejauh ini, Mahkamah sudah mendengar pandangan organisasi keagamaan dan sejumlah pakar. Tak ada kesatuan pendapat; ada yang ingin mempertahankan, ada pula yang ingin menaikkan batas usia minimal. Perdebatan di Mahkamah Konstitusi sangat mungkin mengemuka lagi kelak dalam pembahasan. Kini, tinggal bagaimana putusan MK.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek ikut mendorong revisi UU Perkawinan, terutama upaya menaikkan batas minimal usia nikah ini.

2.   Syarat Sahnya Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan sudah lama menjadi perdebatan. Kalangan aktivis perempuan sudah mengusulkan draf gabungan yang akhirnya berbunyi: “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya dan dicatat menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku”.

Ada dua isu penting berkaitan dengan keabsahan perkawinan. Pertama, perkawinan beda agama. Erna setuju jika revisi UU Perkawinan mengatur dan tidak mempersulit perkawinan beda agama. Mekanismenya, ajukan saja ke pengadilan, nanti pengadilan yang memutuskan. Sebaliknya, Irfan kurang setuju. “Jangan diarahkan boleh menikah antaragama, nanti persoalan. Nanti repot lagi,” ujarnya.

Isu kedua adalah penghayat kepercayaan. Menurut Erna, tidak boleh lagi UU Perkawinan menghambat pelaksanaan dan pencatatan perkawinan para penghayat kepercayaan yang ada di Indonesia. Erna mengingatkan UU Administrasi Kependudukan juga sudah memungkinkan para penghayat kepercayaan mendapatkan keabsahan.

Masalah keabsahan perkawinan, terutama berkaitan dengan kawi beda agama, sudah masuk Mahkamah Konstitusi. Mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum UI yang mempersoalkannya. Kini, tinggal menunggu bagaimana putusan Mahkamah. Putusan ini akan mempengaruhi pula arah revisi UU Perkawinan.

3.   Status anak luar kawin
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 sebenarnya telah membawa perubahan besar karena anak luar kawin dinyatakan mempunyai hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Meskipun demikian, ada kemungkinan menjadi perdebatan bagaimana status anak yang lahir dalam married by accident. Rumusan yang ada saat ini, menurut Irfan, seolah-olah anak yang lahir akibat hamil duluan dianggap sah. Ini berakibat anak yang lahir dari hasil zina juga dianggap sah. Kalangan ulama kemungkinan akan mempersoalkan. Revisi UU Perkawinan juga sudah harus mengakomodasi dan memberikan solusi atas kasus bayi tabung dan sewa rahim (surrogate mother).

4.   Status kepala keluarga
Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan menyebutkan suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Rumusan ini menurut Erna bersifat diskriminatif, bias gender. Kalangan aktivis perempuan seperti Erna menilai para penyusun revisi perlu sensitivitas gender. Faktanya, tak sedikit keluarga yang ‘kepala keluarganya’ justru perempuan.

5.    Poligami
UU Perkawinan menganut asas monogami. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 3 ayat (1). Tetapi UU ini juga memperbolehkan seorang pria beristeri lebih dari satu. “UU ini melanggengkan praktek poligami,” kritik Erna.

Dalam prakteknya, pengadilan tidak ketat menerapkan syarat-syarat yang sudah ditentukan. Acapkali suami melakukan tekanan lewat pengadilan agar isteri memperbolehkan suaminya poligami. Cara lain adalah dengan memalsukan identitas.

Menurut Nurul Irfan, sebenarnya dalam RUU lain yang pernah digodok, RUU Materil Pengadilan Agama, sudah ada ide mengkriminalisasi pelaku poligami. Petugas yang membuat surat-surat yang memperbolehkan poligami tanpa memenuhi syarat itu juga bisa dipidana. Ide ini, kata Irfan, menarik untuk dicermati meskipun sejauh ini baru ide dalam RUU Materil Pengadilan Agama, dan belum masuk ke dalam revisi UU Perkawinan.

Mahkamah Konstitusi juga pernah mengadili permohonan pengujian aturan monogami dalam UU Perkawinan tersebut pada 2007 silam. Dalam putusannya Mahkamah menyatakan negara harus mengatur poligami.
Tags:

Berita Terkait