Dua Jenis Profesor ‘Restsleting’ Versi Ketua MK
Jeda

Dua Jenis Profesor ‘Restsleting’ Versi Ketua MK

Candaan di tengah diskusi. Dua jenis profesor tersebut adalah profesor yang di bawah usia 60 tahun dan di atas usia 60 tahun.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua MK Arief Hidayat. Foto: RES
Setidaknya, terdapat dua macam profesor di mata Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat. Namun, kedua macam profesor tersebut bukanlah dalam arti yang sebenarnya. Arief yang merupakan profesor Hukum dari Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah itu mengatakan, dua macam profesor versi dirinya hanyalah candaan saja.

“Saya tidak ingin terlalu tegang, kita agak santai sedikit,” kata Arief dalam acara diskusi di Gedung MPR di Jakarta, Senin (2/3).

Dua macam profesor tersebut adalah profesor yang di bawah usia 60 tahun dan di atas usia 60 tahun. Menurutnya, untuk profesor yang di bawah usia 60 tahun, sering lupa mengancingkan celana atau yang umumnya disebut dengan menaikkan restsleting. Ciri-ciri sebaliknya berada pada profesor yang berusia di atas 60 tahun.

“Adapun jika profesor di atas 60 tahun itu kalau masuk toilet sudah buang air kecil padahal retsleting belum dibuka,” ujar Arief yang kemudian disambut gelak tawa peserta diskusi yang mayoritas merupakan wartawan.

Perumpamaan yang diutarakan Arief ini bukan tanpa sebab. Candaan Arief ini merespon sejumlah wartawan yang ingin melontarkan pertanyaan ke narasumber diskusi. Selain Arief, narasumber diskusi lainnya adalah Ketua Badan Sosialisasi MPR Ahmad Basarah. Saat itu, terdapat tiga peserta diskusi yang ingin bertanya. Tapi, Arief sementara ingin membatasi pertanyaan dari dua peserta saja.

Setelah dua pertanyaan tersebut dijawab, baru Arief siap mendengarkan dan menjawab pertanyaan berikutnya dari peserta diskusi. Menurutnya, pembatasan dua pertanyaan untuk sementara karena sebagai profesor, dirinya lebih banyak lupanya. Akibat itu, Arief melontarkan candaannya dengan tidak bermaksud menyinggung setiap profesor yang ada di Indonesia.

Dalam kesempatan diskusi tersebut, Arief menilai, budaya hukum di Indonesia masih sangat lemah. Meskipun sudah membangun struktur dan sumber daya manusia, tapi masih lupa membangun budaya hukum. Sehingga, banyak pejabat tinggi yang saling curiga dan menjatuhkan satu sama lain. Padahal, budaya hukum merupakan komponen penting bagi setiap manusia dalam menjalankan aktifitasnya.

“Kalau the founding fathers itu semuanya masuk penjara dulu baru jadi pimpinan publik, sekarang jabat dulu baru dipenjara. Sehingga orientasinya sekarang orang mau apa, itu kelemahan di bidang budaya bahwa kita sebetulnya dapat budaya yang instan,” kritik Arief.

Ia menceritakan pengalaman dirinya. Namun, bukan untuk menyombongkan diri, melainkan hanya sebagai instrospeksi bahwa orientasi menjadi alasan penting bagi setiap manusia. Menurut Arief, dari kecil dirinya memiliki cita-cita menjadi pegawai imigrasi. Alasannya, karena hidup pegawai imigrasi enak.

Namun, orang tuanya melarang dirinya menjadi pegawai imigrasi. Padahal, jika Arief menjadi pegawai imigrasi, sudah ada jaminan dirinya akan mudah masuk. Salah satunya karena paman dari isterinya adalah mantan Menteri Kehakiman Mudjono. Namun, Arief malah memilih jalur akademisi, seperti saran dari Profesor Satjipto Rahardjo.

Meski sudah memilih sebagai dosen, sindirian dari orang dekat juga sampai ke telinganya. Menurut orang lain, menjadi dosen tidak akan membuat kaya raya. Ia tak ambil pusing sindirian tersebut. Arief  terus giat menimba ilmu, sehingga akhirnya ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Menurut Arief, menjadi profesor memiliki bonus yang tidak disangka-sangka. Salah satunya menjabat sebagai Ketua MK. Jabatan Ketua MK ini disandangnya karena diyakini masih berkaitan dengan gelar profesor yang melekat pada dirinya.

“Jabatan tertinggi maka jadi profesor, kalau mau menjabat (pejabat negara, red) itu bonus, sehingga hidup saya sudah selesai, sehingga orang kalau mau sesuatu harus hidupnya sudah selesai. Orientasi kayak gitu harus ditanamkan. Jika seperti itu, Indonesia tidak akan ada konflik-konflik lagi,” tutupnya.
Tags: