Presiden pun Akui Ada Masalah BPJS Kesehatan
Berita

Presiden pun Akui Ada Masalah BPJS Kesehatan

Peserta harus menanggung selisih dan kemampuan BPJS Kesehatan membayar klaim.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Loket BPJS Kesehatan. Foto: RES
Sekitar setahun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berjalan, pelaksanaannya tak luput dari berbagai persoalan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun ikut menyoroti kendala dalam pelaksanaan BPJS Kesehatan. Sebagaimana dikutip dalam website www.setkab.go.id Presiden jokowi mengaku menemukan banyak masalah di lapangan terkait pelaksanaan BPJS Kesehatan.

“Saya sendiri melihat di lapangan banyak masalah-masalah yang dikeluhkan masyarakat, terutama pembayaran di rumah sakit misalnya Rp14 juta hanya dibayar Rp 4 juta. Sisanya harus dibayar sendiri, dan hal-hal yang lainnya,” kata Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas mengenai pelaksanaan BPJS Kesehatan, di kantor Presiden, Jakarta, Jumat (27/2).

Presiden Jokowi juga melihat ada potensi masalah likuiditas yang dialami BPJS Kesehatan sejak enam bulan lalu. Dalam rapat terbatas itu Presiden ingin mengetahui persoalan solvabilitas seperti apa yang dihadapi BPJS Kesehatan dan apa penyebabnya.

Lewat rapat terbatas itu Presiden Jokowi ingin mengetahui bagaimana cara menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi BPJS Kesehatan itu, mulai dari regulasi sampai likuiditas. Sejumlah pejabat yang hadir dalam rapat terbatas itu diantaranya Menko Perekonomian Sofyan Jalil, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Kesehatan Nina Moeloek, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, Sekretaris Kabinet (Seskab) Andi Wdijajanto, dan Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris.

Kepala Departemen Humas BPJS Kesehatan, Irfan Humaidi, mengatakan secara umum Presiden Jokowi mendukung program yang dilaksanakan BPJS Kesehatan. Presiden mendukung rencana kenaikan iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) dari Rp19.225 jadi Rp27.500, serta mendukung pendaftaran peserta penerima upah.

Irfan menjelaskan, iuran PBI sebesar Rp27.500 sudah diajukan oleh DJSN sejak awal sebelum BPJS Kesehatan berdiri. Mengingat ruang fiskal pemerintah terbatas maka iuran PBI hanya RP19.225. Hal itu sudah diantisipasi dengan menyiapkan dana cadangan Rp5 triliun. Sehingga, walau biaya untuk manfaat lebih besar daripada iuran tapi BPJS Kesehatan bisa memenuhi kewajibannya membayar klaim terhadap fasilitas kesehatan. “Tidak ada masalah dalam pembayaran klaim karena dari sisi likuiditas sudah kita cadangkan,” urainya kepada hukumonline lewat telpon, Senin (02/3).

Tapi Irfan mengingatkan kenaikan besaran iuran PBI itu baru akan terlaksana 2016. Untuk 2015 pemerintah membantu likuiditas BPJS Kesehatan lewat penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp5 triliun

Dalam membenahi pelaksanaan BPJS Kesehatan Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengusulkan pemerintah fokus melakukan perbaikan di beberapa sektor seperti anggaran, regulasi dan pengawasan.

Pemerintah, kata dia, perlu menaikan besaran iuran penerima bantuan (PBI) dari Rp19.225 jadi Rp27.000 per orang setiap bulan. Jumlah peserta PBI juga penting untuk ditingkatkan. Untuk regulasi, Presiden Jokowi bisa memerintahkan Menkes merevisi Permenkes No. 59 Tahun 2014 tentang INA CBGs.

Kemudian menginstruksikan direksi BPJS Kesehatan mencabut Peraturan BPJS Kesehatan yang merugikan peserta mandiri seperti Peraturan BPJS Kesehatan No. 4 Tahun 2014 Jo Peraturan Direksi No. 211 Tahun 2014. Serta menjamin agar tidak ada lagi peserta BPJS Kesehatan yang ditolak RS atau diminta untuk membayar biaya tertentu yang terkait indikasi medis.

Pengawasan terhadap RS, dikatakan Timboel, bisa ditingkatkan dengan mengoptimalkan Badan Pengawas RS (BPRS) sebagaimana diamanatkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan PP No. 49 Tahun 2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit. Peran DJSN juga harus dimaksimalkan. “Presiden Jokowi harus memenuhi janjinya waktu Pemilu Presiden lalu yaitu mau memperbaiki pelayanan kesehatan oleh BPJS,” urainya.

Mengenai solvabilitas, Timboel menilai penyebab utamanya adalah  masalah kedisiplinan membayar iuran. Minimnya jumlah iuran yang terkumpul menyulitkan BPJS Kesehatan membayar klaim. Selain itu ada dugaan klaim yang RS digelembungkan. Kemenkes dan BPJS Kesehatan harus menjalankan pengawasan secara intensif.
Tags:

Berita Terkait