Saksi Anggaran Siluman RAPBD DKI Diharap Buka Suara
Berita

Saksi Anggaran Siluman RAPBD DKI Diharap Buka Suara

LPSK menduga ada kemungkinan pihak yang mengetahui upaya dimasukannya anggaran siluman tidak berani memberikan keterangan.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
Saksi Anggaran Siluman RAPBD DKI Diharap Buka Suara
Hukumonline
Konflik antara Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI mengundang perhatian Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Lembaga ini berharap pihak yang mengetahui masuknya anggaran siluman ke dalam RAPBD DKI berkeinginan untuk memberi keterangan.

"Saksi tersebut bisa PNS DKI maupun Anggota DPRD DKI yang turut dalam penyusunan RAPBD DKI 2015," kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai, Rabu (4/3).

Menurut Semendawai, PNS DKI maupun Anggota DPRD DKI bisa memberikan titik terang atas kasus ini. "Siapa saja dan apa motif dimasukannya suatu anggaran ke dalam RAPBD tentu hasil penyusunan bersama DPRD dan Pemprov DKI, maka merekalah yang sebenarnya bisa memberi titik terang," ujarnya.

Semendawai menyadari adanya tekanan kepada pihak-pihak yang mengetahui upaya penggelembungan APBD melalui anggaran siluman karena tindak pidana korupsi memiliki karakteristik sebagai tindak pidana kolektif, tidak dilakukan oleh satu-dua orang.

"Maka dari itu ada kemungkinan pihak yang mengetahui upaya dimasukannya anggaran siluman tidak berani memberikan keterangan,” katanya.

Dia menegaskan, LPSK menjamin jika ada pihak yang berani mengungkap anggaran siluman ini. Sesuai amanat UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, saksi tindak pidana korupsi merupakan salah satu saksi yang mendapat prioritas Perlindungan dari LPSK.

Dijelaskan Semendawai, pengungkapan anggaran siluman menjadi penting agar polemik RAPBD DKI tidak berkepanjangan. Sebab, molornya pembahasan RAPBD dapat mengakibatkan terganggunya pelayanan umum kepada masyarakat.

Seperti diketahui, pembahasan RAPBD DKI 2015 saat ini terhambat perseteruan antara Gubernur DKI dengan DPRD DKI. Gubernur DKI menuding adanya anggaran siluman yang dimasukan ke RAPBD DKI. Tudingan ini dibalas dengan Hak Angket yang digulirkan Anggota DPRD DKI. Ahok juga telah melaporkan dugaan korupsi dalam APBD Jakarta 2015 ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebelumnya, Koordinator Advokasi dan Investigasi Seknas FITRA, Apung Widadi, menyesalkan adanya konflik antara Pemprov DKI Jakarta dengan DPRD Soalnya, konflik dari dua kubu merugikan masyarakat DKI Jakarta yang telah membayar pajak dengan cukup mahal.

Dia mencontohkan, NJOP di Jakarta naik singifikan secara progresif tahun 2014 sebesar 20%-140%. Signifikasi dari pajak ini menaikan Pendapatan Asli daerah dari tahun ke tahun: Rp26 triliun (2013), menjadi Rp41 triliun (2014) dan target menjadi Rp63 triliun (2015).

“Sayangnya, uang rakyat ternyata digunakan untuk bancakan,” tuturnya.

Dikatakan Apung, dengan PAD yang tinggi, alokasi APBD DKI Jakarta selama 2013-2015 cenderung berorientasi kepada birokrasi dan elit. Rata-rata dari tahun 2013-2015 belanja birokrasi mencapai 34% dari total APBD. Bahkan tahun 2015 ini, Gaji PNS DKI naik tinggi sebesar Rp19 triliun, gaji lurah ditaksir mencapai Rp35 juta pertahun. Dan belanja modal mencapai Rp31 triliun.

“Dari anggaran untuk elit inilah (birokrasi dan belanja barang dan jasa) konflik ini nampaknya bermula,” kata Apung.

Lebih jauh, Apung meminta agar semua pihak mengedepankan kepentingan rakyat, menyelesaikan konflik dan menggunakan APBD sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kedua pihak juga disarankan untuk bersama-sama membuka data APBD DKI 2015 versi masing-masing kepada publik dan meminta partisipasi masyarakat dalam perbaikan alokasi APBD tersebut.

“KPK juga perlu mengawasi dan menelusuri adanya potensi korupsi dan kongkalikong dalam pembahasan APBD DKI Jakarta 2015 ini,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait