Perlunya Uji Publik dalam Kasus RAPBD DKI
Utama

Perlunya Uji Publik dalam Kasus RAPBD DKI

Dua versi RAPBD perlu diklarifikasi untuk membuktikan kebenaran secara transparan kepada masyarakat.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: www.seknasfitra.org
Foto: www.seknasfitra.org
Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI menjadi perhatian sejumlah kalangan. Tudingan adanya dugaan dana siluman masuk dalam RAPBD 2015 dan dugaan pelanggaran 11 aturan perlu dilakukan uji publik. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Rabu (4/3).

Dalam kajian FITRA, kata Yenny, pihaknya mendapat dua dokumen yakni versi DPRD DKI dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Menurutnya, kedua dokumen itu masing-masing dilayangkan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Berdasarkan hasil kajian, ternyata ditemukan adanya penambahan anggaran khusus urusan pendidikan di Subdin pendidikan Jakarta Pusat, Timur, dan Selatan.

Setelah dilacak, kata Yenny, ternyata terjadi perbedaan dengan versi RAPBD yang diajukan Pemprov. Menurutnya, versi DPRD terdapat usulan anggaran pembuatan buku Trilogi Ahok. Sementara Ahok tak menyetujui anggaran pembuatan buku tersebut. “Beberapa yang ganjil pembahasan itu masuk Rp12,1 triliun,” ujarnya.

Sebaliknya, DPRD menuding Ahok telah melakukan pelanggaran sebanyak 11 aturan. Menurutnya dalam RAPBD, DPRD tak berhak memasukan anggaran. Sebaliknya, DPRD hanya berwenang melakukan pembahasan dan memberikan persetujuan atau sebaliknya, sebagaimana diatur dalam Perubahan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Selain itu, DPRD pun tidak diperbolehkan membahas di tingkat satuan tiga sebagaimana tertuang dalam UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Menurutnya, kekisruhan antar Pemprov dengan DPRD DKI berdampak merugikan warga Jakarta. Pasalnya, pelayanan publik bakal terbengkalai. Begitu pula pembangunan pelayanan publik ikut mangkrak. Ironisnya, anggaran kartu sehat sebesar Rp3,1 triliun bakal mengalami kendala. “Anggaran Jakarta pintar juga tidak akan terlaksana. Ada juga proyek pembangunan sebesar Rp4,5 triliun akan mangkrak,” ujarnya.

Yenny berpandangan uji publik pun menjadi solusi untuk meredam konflik. Menurutnya, uji publik pun dapat melibatkan masyarakat agar berjalan transparan. Dugaan ‘dana siluman’ pun jika dilakukan uji publik bakal dapat diketahui secara transparan benar tidaknya tudingan Ahok. Begitu pula dugaan pelanggaran sebanyak 11 aturan dapat diketahui publik secara menyeluruh.

“Kita dorong uji publik untuk meredam konflik, Mana 12,1 triliun?. Kedua mengenai asumsi ahok melanggar 11 aturan itu harus uji publik, dengan melibatkan masyarakat. Itu ada dalam UU Pemda,” ujarnya.

Anggota DPD AM Fatwa mengami pandangan Yenny terkait dengan uji publik. Menurutnya, uji publik untuk membuktikan kebenaran antara salah satu pihak kepada masyarakat. Hanya saja, uji publik sebaiknya dilakukan tidak memakan waktu yang panjang. Ia berpendangan jika RAPBD 2015 tak mendapat persetujuan, maka dapat menggunakan APBD 2014.

“Kalau anggaran mandek ya pakai anggaran tahun lalu saja,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara Refly Harun menambahkan, uji publik sejatinya dapat dilakukan. Hanya saja soal kemauan Pemprov dan DPRD atau sebaliknya. Ia berpandangan, kedua RABPD versi DPRD dan Pemprov mesti diklarifikasi dengan melakukan uji publik. “Harus diuji publik terkait dengan Rp12,1 triliun itu,” ujarnya.

Dikatakan Refly, dari sudut ketatanegaraan APBD dibahas dan disetujui kedua belah pihak antara DPRD dengan Pemprov. Menurutnya persetujuan yang diberikan DPRD bersifat pasif. Nah, perihal APBD pun Kemendagri mesti mengambil keputusan apakah akan menggunakan RAPBD versi DPRD atau Pemprov.

“Karena DPRD dan Pemprov ngotot,” katanya.

Terkait dengan hak angket, Refly menilai semestinya hal itu belum layak digunakan. Pasalnya, hak angket digunakan ketika adanya dugaan kebijakan yang berdampak buruk bagi masyarakat luas. Sebaliknya, DPRD dapat bernegoisasi perihal pembahasan RAPBD tanpa berujung kisruh. Namun hal itu menjadi persoalan politik.

Kendati demikian, DPRD kekeuh menggunakan hak angket, Ahok tetap mendapat dukungan dari masyarakat luas. “Kalau berhasil perlawanan ahok, akan menjadi ahok effect untuk melawan oligarki di daerah-daerah Kalau tidak berhasil akan tumbang seperti Bambang Widjojanto –wakil ketua KPK non aktif-,” ujar Refly.

Komunikasi Buruk
Ahok memang kerap kali mengeluarkan pernyataan pedas. Tak saja terhadap publik, juga terhadap DPRD. Menurut AM Fatwa, komunikasi politik Ahok terbilang buruk. Alhasil, hal itu kerap mengundang kontra dari masyarakat. Ia memaklumi karakter Ahok terbilang keras. Namun sepanjang kedekatan dengan Ahok, Fatwa mengakui pria asal Bangka Belitung itu terbilang berani tanpa tedeng aling-aling

“Komunikasi Ahok ke DPRD sangat buruk. Tapi memang karakter pembawaanya semestinya bisa dikemas melalui komunikasi yang baik. Jangan hanya berani dan jujur, tetapi juga santun dalam komunikasi politik,” ujar senator asal DKI Jakarta itu.

Refly Harun menambahkan, dalam kasus anggaran, Ahok terbilang lebih baik dibanding kepala daerah lainnya. Menurutnya, langkah Ahok itu dapat menjadi contoh. Menurutnya, Ahok tak khawatir jika harus menanggalkan jabatannya sepanjang keuangan daerah tak bocor.

“Dalam gaya komunikasi, bangsa ini terlalu budeg. Belakangan Ahok keluar dan menantang tidak takut kehilangan jabatan. Tantangan DPRD ini apa betul Ahok melanggar aturan,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait