Gugat Cerai Naik, Mengapa ya?
Laptah Komnas Perempuan:

Gugat Cerai Naik, Mengapa ya?

Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat. Sepanjang tahun 2014, jumlahnya mencapai 293.220 kasus.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Komnas Perempuan. Foto: SGP
Komnas Perempuan. Foto: SGP
Komnas Perempuan mencatat 2012-2014 jumlah kekerasan terhadap perempuan meningkat. Tahun 2012 mencapai 216.156 kasus, 2013 (279.688 kasus) dan 2014 (293.220 kasus). Komisioner Komnas Perempuan, Indraswari, mengatakan data itu dihimpun dari beberapa sumber yakni Badan Peradilan Agama (Badilag) meliputi 280.701 kasus, kuesioner dari 191 lembaga mitra pengada layanan dan pengaduan langsung ke Komnas Perempuan 1.094 kasus.

Indraswari yakin masih banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang belum tercatat. Ini terjadi karena sebagian perempuan enggan mengadu atau menceritakan kekerasan yang mereka alami.

Peningkatan jumlah kekerasan terhadap perempuan yang tercatat, menurut Indraswari, menunjukkan kesadaran masyarakat dan perempuan untuk melapor kepada pihak terkait semakin tinggi. Data Badilag itu menunjukan kasus kekerasan terhadap perempuan yang diproses di Pengadilan Agama cenderung meningkat selama 2012-2014: rinciannya 203.507 perkara (2012), 263.285 perkara (2013) dan 280.710 perkara (2014).

Dari data tersebut Indraswari menyebut Pengadilan Agama paling banyak menangani perkara gugat cerai yang diajukan pihak istri. Penyebab perceraian yang tercatat di Pengadilan Agama pada 2014 paling banyak karena tidak ada keharmonisan (86.423 kasus). “Ketidakharmonisan itu artinya luas, bisa jadi karena kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” katanya dalam peluncuran Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun
2014 di kantor Komnas Perempuan di Jakarta, Jumat (06/3).

Komisioner Komnas Perempuan lainnya, Mariana Amiruddin, menilai gugat cerai makin banyak diajukan istri karena dianggap sebagai cara paling aman untuk keluar dari kekerasan yang dialami. Sementara pelaku kekerasan kerap lolos dari jerat hukum. “Perempuan yang mengalami kekerasan paling sulit mendapat keadilan,” ujarnya.

Mariana mencatat kerentanan perempuan meliputi berbagai bidang, termasuk politik. Dalam Pemilu 2014 ada caleg perempuan di Aceh dan Nusa Tenggara Timur mendapat intimidasi dan di Papua mengalami pencurian suara.

Bagi Mariana, untuk memberi perlindungan dan keadilan bagi perempuan tidak cukup dengan menerbitkan peraturan yang pro perempuan, tapi butuh pemahaman semua pihak khsusunya aparat penegak hukum dan peradilan. Sehingga ketika mereka menangani kasus-kasus dapat memberi keadilan bagi perempuan.

Rekan Mariana di Komnas Perempuan, Saur Tumiur Situmorang, menilai Indonesia tergolong darurat kekerasan terhadap perempuan karena jumlah kasus kekerasan yang dihimpun 2014 hampir mencapai 300 ribu kasus. Belum lagi kasus-kasus yang tidak tercatat.

Oleh karenanya Komnas Perempuan merekomendasikan agar dilakukan penegakan hukum dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Sekaligus menjamin hak-hak perempuan korban atas kebenaran dan keadilan serta pemulihan. “Aparat penegak hukum dan pengadilan agar meneruskan proses hukum terhadap tindak pidana KDRT meskipun gugat cerai yang diajukan korban telah dikabulkan pengadilan agama,” papar Saur.

Komnas Perempuan mengusulkan agar pengadilan menjatuhkan sanksi yang lebih berat kepada pejabat atau tokoh publik yang melakukan kekerasan terhadap perempuan, dan membuat terobosan hukum untuk melindungi dan menjamin hak-hak korban. Pemerintah juga perlu menyediakan kompensasi bagi korban jika pelaku kekerasan tidak mampu memenuhi hak-hak korban seperti kesehatan dan ekonomi.

Komnas Perempuan merekomendasikan pemerintah dan DPR membuat UU yang mengatur secara komprehensif tentang kekerasan seksual. Lewat UU tersebut diharapkan pelaku tidak mudah lepas dari jerat hukum. Berikutnya, mencabut atau merevisi peraturan yang berpeluang mengkriminalisasi perempuan korban atau menjatuhkan sanksi yang tidak manusiawi.

Terakhir, Komnas Perempuan merekomendasikan agar penerapan Otonomi Khusus di Papua harus menjamin akses perempuan dalam politik. Termasuk representasi perempuan Papua di lembaga legislatif dan publik lainnya.
Tags:

Berita Terkait