FITRA: Pembahasan APBD DKI Banyak Langgar Aturan
Utama

FITRA: Pembahasan APBD DKI Banyak Langgar Aturan

APBD DKI Jakarta yang dibahas oleh DPRD dan Pemprov tidak secara terbuka dan bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tapi kepentingan elit.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Sekjen Fitra Yenny Sucipto. Foto: seknasfitra.org
Sekjen Fitra Yenny Sucipto. Foto: seknasfitra.org
Polemik antara DPRD DKI dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus bergulir. Kecaman demi kecaman berdatangan terkait perseteruan ini. Salah satunya datang dari Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Sekjen Fitra Yenny Sucipto mengatakan, setidaknya terdapat sejumlah kritikan yang patut dilayangkan kepada DPRD atas persoalan ini.

Pertama, lanjut Yenny, DPRD DKI Jakarta telah melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Di antaranya adalah mengabaikan amanat konstitusi dalam hal pembahasan APBD, yang tertuang dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945. Menurutnya, dalam pembahasan APBD, DPRD DKI Jakarta lebih mementingkan kepentingan kelompok dibandingkan dengan mengedepankan transparansi dan kemakmuran rakyat.

Aturan lainnya, terdapat pada Pasal 317 UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Dalam UU tersebut, DPRD hanya berwenang membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur.

Berikutnya, pelanggaran terhadap Pasal 99 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Sama halnya dengan UU MD3, UU Pemda juga menyatakan bahwa kewenangan DPRD hanya melakukan pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD provinsi yang diajukan oleh gubernur.

Hal sama diatur dalam Tata Tertib (Tatib) DPRD DKI Jakarta Tahun 2014. Dalam Tatib menyatakan bahwa kewenangan anggaran DPRD hanya sebatas membahas dan menyetujui usulan APBD dari gubernur. "APBD DKI Jakarta, dibahas oleh DPRD dan Pemprov tidak secara terbuka dan bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tapi kepentingan elit," kata Yenny di Jakarta, Jumat (6/3).

Kritikan berikutnya terkait dengan pengajuan hak angket oleh DPRD DKI Jakarta. Menurutnya, hal ini merupakan pertama dalam sejarah Indonesia bahwa pembahasan APBD berujung hak angket. Yenny menduga latar belakang politik membayangi pengajuan hak angket karena tidak didasarkan pada bukti kuat seperti adanya pelanggaran pidana ataupun merugikan keuangan Negara.

"Hak angket juga diduga digalang oleh segelintir aktor-aktor lama di DPRD dan tidak mencerminkan kebijakan partai politik," kata Yenny.

Akibat pembahasan anggaran yang tak transparan itu, muncul dana siluman yang mencapai Rp12,1 triliun. Menurutnya, dana siluman tersebut bukan aspirasi rakyat, namun ia menduga, dana ini muncul dari kongkalikong politisi dengan pengusaha hitam yang sudah lama terjalin dalam oligharki korup.

"Hal ini adalah bentuk potensi korupsi," kata Yenny.

Ada sejumlah alasan dugaan ini dilontarkan FITRA. Pertama, dalam anggaran versi DPRD usulan program tidak menyebut program sebagai bentuk aspirasi rakyat, tapi sebagian besar menyebut pengadaan yang menjadi bukti nyata orientasi proyek.

Kedua, dana siluman di Dinas Pendidikan lebih banyak dari dinas lainya, melebihi pagu sebesar Rp5,3 triliun. Berikutnya, usulan DPRD "dana siluman" tanpa kode mata anggaran dan kode rekening. Lalu, munculnya dana ini berdampak pada dinas lain yang mengalami pengurangan pagu.

Sebelumnya, perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI ini memicu sejumlah asumsi. Tudingan adanya dugaan dana siluman masuk dalam RAPBD 2015 dan dugaan pelanggaran 11 aturan perlu dilakukan uji publik. Selain Fitra, sejumlah pihak juga menyatakan hal sama.

Seperti yang diutarakan Anggota DPD AM Fatwa. Menurutnya, uji publik untuk membuktikan kebenaran antara salah satu pihak kepada masyarakat. Hanya saja, uji publik sebaiknya dilakukan tidak memakan waktu yang panjang. Ia berpandangan jika RAPBD 2015 tak mendapat persetujuan, maka dapat menggunakan APBD 2014.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menambahkan, uji publik sejatinya dapat dilakukan. Hanya saja soal kemauan Pemprov dan DPRD atau sebaliknya. Ia berpandangan, kedua RABPD versi DPRD dan Pemprov mesti diklarifikasi dengan melakukan uji publik. "Harus diuji publik terkait dengan Rp12,1 triliun itu," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait