Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers
Berita

Koalisi Jurnalis Tolak Kriminalisasi Pers

Penyelesaian masalah pers harus mengacu UU Pers.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Aksi unjuk rasa kalangan jurnalis. Foto: RFQ
Aksi unjuk rasa kalangan jurnalis. Foto: RFQ
Sejumlah organisasi pers – Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan LBH Pers --merasa prihatin atas langkah kepolisian yang juga menyasar kalangan pers terkait perseteruan KPK dan Polri. Pers disasar akibat pemberitaan mengenai aliran dana dan kekayaan Komjen Budi Gunawan.

Majalah Tempo sudah dilaporkan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia ke Bareskrim Mabes Polri. Laporan Utama Tempo dianggap membocorkan rahasia perbankan dan melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Ketua Umum IJTI, Yadi Hendriana, mendesak Polri untuk menolak segala upaya untuk memidanakan jurnalis akibat karya jurnalistiknya. Kasus itu harus diselesaikan lewat prosedur yang berlaku sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Penggunaan UU Pers Sebagai UU lex spesialis, juga sesuai nota kesepahaman (MoU) antara Kepolisian RI dan Dewan Pers yang diteken 2012 lalu,” katanya dalam jumpa pers di kantor Dewan Pers di Jakarta, Kamis (05/3).

Ia juga mendesak kepolisian menaati pendapat Dewan Pers terkait penyelesaian sengketa pemberitaan antara pengadu dan majalah Tempo. Ia mengimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menghormati peran dan tugas jurnalis dalam menjalankan profesinya. Jika ada keberatan terkait pemberitaan maka dapat menyelesaikannya mengacu UU Pers. Kepada seluruh jurnalis diimbau untuk memegang teguh kode etik jurnalistik setiap melaksanakan tugas jurnalistik.

Yadi mencatat kriminalisasi terhadap pers tidak hanya dialami majalah Tempo, tapi juga media lainnya seperti Jakarta Post. Ia mengingatkan persoalan Jakarta Post sudah selesai di Dewan Pers, namun kepolisian tetap memproses kasus tersebut.

Ketua Umum AJI, Suwarjono, menegaskan kepolisian tidak berwenang melakukan upaya hukum terhadap Tempo karena laporan yang termuat adalah hasil karya jurnalistik. Jika ada pihak yang dirugikan atas pemberitaan itu maka ada mekanisme yang sudah diatur dalam UU Pers. “Dewan Pers sudah menjelaskan kepada kita, apa yang dilakukan Tempo sudah memenuhi standar etik jurnalistik. Jadi tidak ada alasan sama sekali membawa itu ke ranah kriminal,” urainya.

Suwarjono menilai perkara ini berkaitan dengan gerakan yang belakangan ini mau melemahkan pemberantasan korupsi. Apalagi peristiwa yang dialami Tempo itu terjadi ditengah konflik KPK-Polri. “Kalau tadinya hanya konflik KPK-Polri, sekarang menyeret-nyeret media dan akademisi di kampus-kampus yang mengkritisi korupsi,” tukasnya.

Selain majalah Tempo dan Jakarta Post, Suwarjono mencatat beberapa media lainnya juga dikriminalisasi seperti Warta Kota dan Tribun News. Bahkan Sekretaris AJI Lampung beberapa waktu lalu disambangi dan diteror anggota polisi dengan cara membekap serta mengancam karena dituding terkait kasus narkotika. Dalam kasus terakhir ini, Polri sudah mengaku salah orang dan meminta maaf.

Bagi Suwarjono, kriminalisasi terhadap pers adalah persoalan serius. Ia berharap ke depan tidak ada kriminalisasi lagi terhadap jurnalis. Apalagi tren terakhir untuk memidanakan jurnalis lewat UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) seperti yang dialami seorang jurnalis di Aceh. “Kami menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap pers,” tegasnya.

Ketua Bidang Multimedia PWI Pusat, Priyambodo, menyebut kriminalisasi terhadap pers itu melanggar MoU antara Dewan Pers dan Polri. MoU itu terkait penyelesaian masalah pers yang diselesaikan lewat UU Pers. Sehingga dalam menangani perkara pers Polri harus minta pendapat dari Dewan Pers. “Polri silakan menerima laporan dari masyarakat, tapi harus perhatikan MoU itu,” paparnya.

Direktur LBH Pers, Nawawi Bahruddin, mengatakan tugas polisi memberi rasa aman terhadap masyarakat termasuk jurnalis. Sebaliknya pers bekerja secara independen mencari dan menyebarluaskan informasi sekaligus berfungsi sebagai kontrol sosial. “Dalam hal ini apa yang dilakukan majalah Tempo adalah memberi informasi dan menjalankan fungsi kontrol sosial,” ucapnya.

Pemred majalah Tempo, Arif Zulkifli, mengatakan kriminalisasi pers merupakan ancaman serius kebebasan pers. Padahal selama ini pemerintah dan masyarakat secara umum merasakan manfaat kebebasan pers. “Jika nanti majalah Tempo menulis berita yang mengkritik pihak tertentu bisa jadi kasusnya (yang tertunda itu) jalan lagi,” urainya.

Arif menjelaskan, dalam melaksanakan tugasnya majalah Tempo memegang teguh kode etik jurnalistik. Seperti mengecek dan mengkonfirmasi informasi yang diperoleh secara berulang-ulang. Herannya, kenapa pemberitaan majalah Tempo yang dipersoalkan itu tidak dibawa ke ranah UU Pers tapi dikaitkan dengan tuduhan membocorkan rahasia negara sebagaimana diatur UU Perbankan dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Tags:

Berita Terkait