Anas Urbaningrum Ajukan Kasasi
Berita

Anas Urbaningrum Ajukan Kasasi

Anas merasa belum mendapatkan keadilan.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Anas Urbaningrum. Foto: RES
Anas Urbaningrum. Foto: RES
Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum memutuskan untuk mengajukan kasasi atas putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Pengacara Anas, Adnan Buyung Nasution mengatakan, meski putusan banding lebih ringan dari putusan pengadilan tingkat pertama, kliennya merasa belum mendapatkan keadilan.

"Sesuai pembicaraan dengan Anas, hal yang paling mencolok adalah Anas merasa belum mendapatkan keadilan. Dia kan sebenarnya hanya korban politik dari pertarungan internal di masa pemerintahan terdahulu (Susilo Bambang Yudhoyono)," ujar Buyung usai menjenguk Anas di Rumah Tahanan (Rutan) KPK, Jum'at (6/3).

Buyung menjelaskan, ketika itu, tengah terjadi konflik internal dan pertaruang politik di dalam tubuh Partai Demokrat. Ia mencium ada motif politik di balik kasus yang menimpa kliennya. Ia bahkan menduga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijadikan alat politik karena tidak semua orang-orang di KPK adalah malaikat.

Terlebih lagi, menurut Buyung, ketika proses sidang terdahulu, hampir semua saksi mengaku Anas tidak berperan dalam proyek Hambalang maupun proyek-proyek lainnya yang bersumber dari APBN. Ia menilai keterangan para saksi tersebut seharusnya menjadi pertimbangan majelis untuk menentukan apakah Anas bersalah atau tidak.

Walau selama ini banyak perkara korupsi yang justru semakin diperberat di tingkat kasasi, Buyung menganggap itu sebagai risiko. Ia bahkan menyatakan siap jika majelis kasasi Anas adalah Hakim Agung Artidjo Alkostar yang terkenal sering menjatuhkan hukuman berat terhadap terdakwa kasus korupsi.

Lebih lanjut, Buyung menerangkan akan menghormati apapun putusan yang nanti dijatuhkan majelis kasasi. Buyung mengatakan, Senin pekan depan merupakan tenggat waktu pengajuan kasasi. Maka dari itu, ia sengaja datang menyambangi Anas untuk mengkonsultasikan hal-hal apa saja yang akan dimasukan dalam memori kasasi.

Sementara, Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha mengaku KPK sudah mengajukan kasasi atas putusan banding Anas. Selain karena PT DKI Jakarta "mengkorting" hukuman Anas menjadi tujuh tahun penjara, KPK pada pengadilan tingkat pertama juga menuntut Anas dengan pidana penjara selama 15 tahun.

Di samping itu, putusan PT DKI Jakarta berbeda dengan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta dan tuntutan KPK. PT DKI Jakarta memerintahkan tanah Pondok Pesantren (Ponpes) Krapyak yang dikelola mertua Anas, Attabik Ali dikembalikan untuk kepentingan santri, sedangkan pengadilan tingkat pertama memerintahkan tanah Ponpes dirampas untuk negara.

Selebihnya, putusan PT DKI Jakarta sama dengan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta. PT DKI Jakarta menghukum Anas dengan pidana denda sebesar Rp300 juta subsidair tiga bulan kurungan. Selain itu, Anas dipidana dengan pidana tambahan uang pengganti Rp57,59 miliar dan AS$5,261 juta.

Apabila Anas tidak membayar uang pengganti satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta benda Anas akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Jika harta benda Anas tidak mencukupi untuk menutupi uang pengganti, Anas dipidana penjara selama dua tahun.

Sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Haswandi menyatakan Anas terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Anas dianggap terbukti menikmati fasilitas dan uang hasil korupsi dari proyek-proyek pemerintah yang bersumber dari APBN.

Selaku anggota Komisi X DPR dan ketua fraksi Partai Demokrat, Anas berperan mendapatkan proyek-proyek di kementerian yang menjadi mitra Komisi X. Perbuatan itu dilakukan Anas bersama-sama pemilik M Nazaruddin dalam rangka mengumpulkan pundi-pundi untuk menjadikan Anas sebagai calon Presiden di tahun 2014.

Atas perbuatannya, Anas dihukum delapan tahun penjara. Majelis memerintahkan penuntut umum merampas sejumlah aset Anas, termasuk tanah di Ponpes Ali Ma'sum, Krapyak, Yogyakarta. Pasalnya, uang yang digunakan untuk membeli tanah seluas 7.870 meter persegi itu terbukti bersumber dari hasil korupsi.

Namun, majelis tidak menuangkan perintah perampasan dalam amar putusan. Majelis khawatir, apabila perampasan dituangkan dalam amar putusan akan timbul masalah hukum perdata. Maka dari itu, majelis meminta negara dan instansi terkait membuat perjanjian dengan yayasan yang mengelola Ponpes.

Tags:

Berita Terkait