Tantangan dan Harapan PERADI: Satu Dekade PERADI
Kolom

Tantangan dan Harapan PERADI: Satu Dekade PERADI

PERADI harus menjadi organisasi penegak hukum yang pro-aktif dan andil dalam memberikan masukan serta pemikiran kepada pemerintah, terkait dengan perancangan legislasi nasional, termasuk memperbaiki kekisruhan penegakan hukum di Indonesia.

Bacaan 2 Menit
Astro P Girsang. Foto: AAI Jakpus
Astro P Girsang. Foto: AAI Jakpus
Perjalanan organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (“PERADI”) akan memasuki usianya yang ke-10 tahun. Sejak diperkenalkan ke masyarakat pada tanggal 7 April 2005, kini PERADI tengah bersiap untuk menghadapi pelaksanaan Musyawarah Nasional ke-2 yang akan digelar pada tanggal 26-28 Maret 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan. Salah satu agendanya adalah pemilihan Ketua Umum PERADI yang baru. Dari sinilah sebuah tantangan baru akan dihadapi oleh Ketua Umum PERADI berikutnya, untuk membenahi segala peninggalan dan reputasi dari tampuk pimpinan terdahulu.

Tidak sedikit permasalahan terjadi selama hampir satu dekade perjalanan PERADI yang masih menjadi perdebatan di kalangan advokat. Di antaranya mengenai pelanggaran Kode Etik Advokat, berdirinya organisasi advokat di luar PERADI, pemecatan advokat senior, keluhan advokat-advokat atas ketidakhadiran PERADI pada saat dirinya sedang menghadapi masalah hukum ketika menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai advokat, keterlambatan penerbitan kartu advokat, hingga proses dan peran serta PERADI dalam memberikan masukan terhadap RUU Advokat di DPR.

Pengawasan serta penindakan terhadap pelanggaran kode etik advokat memang patut disorot dan diberikan penguatan agar martabat figur advokat terjaga baik di mata masyarakat. Kode etik profesi advokat sebagai fundamen bagi advokat pada prinsipnya telah ditanamkan dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (“PKPA”) yang dilaksanakan oleh PERADI bekerjasama dengan institusi yang mengadakannya. Namun, hal ini nyatanya tidak cukup mengakomodir serta menjamin kepatuhan advokat untuk menjalankan kode etik tersebut. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya perkara kode etik yang dilaporkan kepada Dewan Kehormatan di PERADI.

Selain banyaknya terjadi pelanggaran terhadap Kode Etik, nyatanya permasalahan mengenai putusan atau pemberian sanksi atas pelanggaran Kode Etik juga seringkali menjadi perdebatan di kalangan advokat. Hingga saat ini penegakan Kode Etik Advokat dirasa tidak transparan atau terbuka. Tidak luput dari ingatan dimana pada tahun 2013 terjadi peristiwa gugatan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Barat, yang diajukan oleh salah satu advokat senior terhadap Dewan Kehormatan Daerah PERADI DKI Jakarta.

Putusan Kode Etik yang dijatuhkan menunjukkan adanya ketidakberesan dan sarat dengan subjektivitas dari Majelis Kode Etik yang memeriksa laporan tersebut. Inilah yang kemudian mendorong banyaknya desakan dari kalangan advokat dan praktisi agar kiranya jabatan struktural Dewan Kehormatan PERADI baik yang berdomisili di wilayah pusat maupun daerah, yang berwenang menyidangkan laporan Kode Etik adalah para profesional yang independen, bebas dari kepentingan terhadap apapun (conflict of interest) dan berkomitmen untuk tidak terjun sebagai advokat praktik sepanjang dirinya menjabat. Hal ini dirasa sangat penting untuk menjaga wibawa organisasi dalam rangka penyelesaian perkara kode etik.

Polemik yang juga sering berkembang di kalangan Advokat adalah mengenai keretakan dalam tubuh PERADI yang telah melahirkan organisasi advokat tandingan, yaitu Kongres Advokat Indonesia (“KAI”), sebagaimana diprakarsai oleh beberapa advokat senior. Perseteruan ini telah merusak soliditas advokat untuk memegang teguh sistem wadah tunggal (single bar) bagi organisasi advokat di Indonesia, yang digagas dengan maksud untuk menjaga standar kualitas dari profesi advokat. Perpecahan ini telah menghasilkan usulan-usulan dari para advokat yang didukung beberapa advokat senior untuk mengganti sistem wadah tunggal menjadi sistem multi bar. Begitu Krusialnya permasalahan ini sehingga merugikan dan membuat kebingungan bagi para Advokat itu sendiri, namun hingga saat ini belum ada satu solusi yang baik terhadap perseteruan antara PERADI dan KAI ini.

Desakan untuk melakukan upaya komunikasi secara positif dan rekonsiliasi antar pimpinan kedua organisasi untuk mengharmonisasi hubungan antar advokat sangat dibutuhkan dalam waktu dekat ini. Meski PERADI dapat berlindung di balik putusan MK Nomor: 14/PUU-IV/2006, 66/PUU-VII/2010, 71/PUU-VIII/2010, dan 77/PUU-VIII/2010, yang telah menentukan bahwa PERADI sebagai satu-satunya organisasi profesi advokat. Namun perseteruan antara organisasi advokat harus segera ditengahi dan disudahi, guna menjaga martabat profesi advokat di tengah masyarakat pencari keadilan, karena kewibawaan serta martabat profesi advokat sangat bergantung kepada organisasi yang mewadahinya.

Permasalahan di atas menggambarkan kritisnya kondisi PERADI hingga saat ini. Namun demikian, hal ini belum termasuk banyaknya keluhan dari para advokat di daerah-daerah yang harus menghadapi persoalan hukum ketika dirinya tengah menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai advokat. Banyak kasus advokat yang disidik oleh POLRI ketika menjalankan tugasnya sebagai kuasa hukum yang mendampingi masyarakat pencari keadilan, meski advokat memiliki imunitas berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”).

Ketika hal itu terjadi pada anggotanya PERADI sering tidak hadir membantu anggotanya. Walaupun sudah ada Memorandum of Understanding (“MOU”) antara PERADI dan POLRI, sebagaimana telah ditandatangani pada tanggal 27 Februari 2012, namun masih banyak advokat yang mempertanyakan efektivitas dari MOU tersebut. Dari sinilah kiranya desakan untuk membenahi organisasi baik secara internal maupun dalam penjembatanan kepada masyarakat atau organisasi-organisasi lainnya perlu dilaksanakan secepatnya, dan hal ini tentu sudah menjadi suatu hal yang wajib diakomodir bagi Ketua Umum PERADI periode berikutnya.

Satu hal yang juga perlu disoroti dari PERADI adalah mengenai keaktifan dari Dewan Pimpinan Cabang (“DPC”) di daerah-daerah. Banyak DPC PERADI di daerah-daerah yang dirasa tidak aktif, dengan alasan tidak adanya dukungan dana dari Dewan Pimpinan Nasional (“DPN”) PERADI untuk membantu program-program DPC, sementara diketahui hingga saat ini DPN memiliki dana yang cukup banyak yang tentunya dapat menggerakkan organisasi tidak semata untuk melaksanakan program PKPA namun dapat memberdayakan DPC-DPC untuk memberikan program yang berguna bagi anggotanya.

Tentu saja anggota merasa dirugikan atas hal ini, padahal setiap anggota PERADI sudah membayar iuran anggota yang tidak kecil. Belum lagi mengenai keterlambatan penerbitan kartu anggota yang sampai saat ini DPN belum bisa menyelesaikannya. Tentu hal-hal ini menjadi pekerjaan bagi PERADI untuk segera dibereskan oleh kepengurusan PERADI berikutnya untuk dapat lebih transparan dalam pengelolaan dana organisasi, mengingat dana organisasi PERADI berasal dari para anggota dan untuk kemaslahatan anggota.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan adalah PERADI harus menjadi organisasi penegak hukum yang pro-aktif dan andil dalam memberikan masukan serta pemikiran kepada pemerintah, terkait dengan perancangan legislasi nasional, termasuk memperbaiki kekisruhan penegakan hukum di Indonesia. Sebagai organisasi yang mewadahi profesi advokat, yang kedudukannya setara dengan institusi penegak hukum seperti Kehakiman, Kejaksaan, dan Kepolisian sebagaimana digariskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Advokat, sudah sepatutnya PERADI berperan dalam memberikan pandangan-pandangannya serta berkontribusi aktif kepada pemerintah. Misalnya dalam rangka perancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang baru, dan dalam hal ini tidak semata menyoroti RUU Advokat baru yang telah ditunda beberapa waktu lalu.

Keputusan Panja DPR untuk menghentikan pembahasan RUU Advokat beberapa waktu yang lalu telah memberikan kesempatan bagi PERADI untuk mempertahankan konsep wadah tunggal (single bar), yang memiliki fungsi untuk memonitor dan mengevaluasi kualitas Advokat. Namun demikian, UU Advokat yang berlaku masih memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satunya adalah terkait dengan kedudukan advokat sebagai penegak hukum yang dikatakan setara dengan institusi penegak hukum lainnya, namun hal ini berseberangan dengan kenyataan di lapangan. Hal ini juga dikarenakan tidak ada perincian mengenai tugas dan kewenangan dari advokat sebagaimana UU Advokat. Oleh karenanya, kiranya PERADI juga perlu memperhatikan kelemahan-kelemahan dari UU Advokat yang berlaku dan menggagas perbaikan-perbaikan terhadap undang-undang tersebut. Sebagai catatan, masuknya RUU Advokat ke dalam Program Legislasi Nasional (“Prolegnas”) tahun 2015-2019 ini patut untuk terus dipantau oleh PERADI.

Selanjutnya, seiring dengan perkembangan masyarakat, dalam menyikapi tantangan perkembangan dunia Advokat di masa mendatang perlu kiranya PERADI mempersiapkan diri untuk menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang rencananya akan diberlakukan pada akhir tahun 2015 ini. Disini tantangan para advokat di tanah air semakin besar, mengingat banyaknya potensi Advokat asing yang akan masuk ke tanah air, serta terlebih dengan dihembuskannya issue mengenai ASEAN and Treaty Enforcements dan ASEAN Cross Border Practice sebagai dampak dari perkembangan ekonomi global belakangan ini.

Negara-negara ASEAN, khususnya negara Indonesia, membutuhkan sebuah landasan yang dapat menjembatani sistem hukum antara masing-masing negara di dalam ASEAN untuk kemudian diformulasikan dan diterapkan secara praktis pada masing-masing negara. Oleh karena itu adalah wajar apabila PERADI memberikan perhatian lebih dan mempersiapkan anggota-anggotanya untuk dapat bersaing pada masa tersebut melalui pendidikan-pedidikan berkelanjutan bagi para Advokat yang selama ini jarang dilakukan.

Persoalan yang dimiliki selama satu dekade perjalanan PERADI tidak sedikit, namun banyak kiranya hal yang dapat atau perlu dilakukan oleh PERADI. Selain mengusung kegiatan pendidikan dan pelantikan bagi Advokat, sudah waktunya agar di masa mendatang PERADI segera melakukan pembenahan dalam organisasi, melakukan upaya rekonsiliasi dengan organisasi advokat lainnya, lebih berperan aktif dalam masyarakat serta berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Untuk itu, besar harapan agar kepemimpinan PERADI yang akan datang diisi oleh Ketua Umum yang berintegritas, memiliki komitmen penuh untuk berjuang meningkatkan kualitas advokat di seluruh Indonesia, komunikatif untuk menjembatani setiap persoalan antar advokat dan memiliki kewibawaan untuk mempersatukan advokat di Indonesia.

Menjelang pelaksanaan Munas PERADI tahun 2015 ini, penuh harapan agar kiranya PERADI ke depan dapat menjadi meningkatkan kewibawaan organisasi sebagai organisasi penegak hukum yang berkontribusi kepada penegakan hukum di dalam negeri serta menjadi organisasi yang senantiasa menjaga martabat para Advokat, agar kelak mencetak advokat-advokat yang berintegritas, profesional sehingga siap untuk menghadapi perkembangan masyarakat global dengan menjaga martabat profesi Advokat sebagai officium nobile yang menjunjung tinggi keadilan, penegakan serta kepastian dan kemanfaatan hukum di Indonesia. Harapan perbaikan organisasi tidak hanya dibutuhkan oleh para advokat, namun juga bagi para masyarakat pencari keadillan, agar PERADI ke depan dapat berkiprah menjadi semakin lebih baik.

*Ketua DPC AAI Jakarta Pusat
Tags:

Berita Terkait