Narendra Jatna: Sosok Perpaduan Jaksa, Akademisi dan Ahli Hukum
Laporan dari Thailand

Narendra Jatna: Sosok Perpaduan Jaksa, Akademisi dan Ahli Hukum

“Ketika semakin tumbuh, bukan apa yang kita inginkan, tetapi berkembang menjadi apa yang bisa kita perbuat.”

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
Atase Kejaksaan KBRI Thailand, R Narendra Jatna. Foto: Ali.
Atase Kejaksaan KBRI Thailand, R Narendra Jatna. Foto: Ali.

Gaya bicaranya ceplas-ceplos. Teori-teori hukum begitu fasih keluar dari mulutnya. Bukan bualan kosong, karena teori-teori itu memang bisa ditemukan di sejumlah text book. Visinya ke depan pun sangat tajam. Apalagi, ketika berbicara seputar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Namanya Raden Narendra Jatna. Pria yang fasih berbahasa Inggris dan bahasa Perancis ini berprofesi sebagai jaksa. Tak hanya itu, Narendra juga tercatat sebagai pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) – salah satu fakultas hukum terbaik di Indonesia – serta sejumlah fakultas hukum lainnya di Indonesia dan kursus bagi para calon advokat.

Berdasarkan penelusuran hukumonline, sejumlah kasus besar pernah ia tangani, dari kasus Abu Bakar Ba’asyir, kasus sisminbakum hingga kasus mantan Kabareskrim Susno Duaji. Dari segi keilmuan, Narendra juga sudah menelurkan sebuah buku tentang pencucian uang, salah satu bidang hukum yang digelutinya. 

Namun, ketika sosoknya akan diangkat, Narendra mendadak tertutup. Beberapa kali dia meminta agar informasi seputar dirinya tidak dipublikasikan. Sosok low profile atau tidak mau menonjol pun terlihat darinya.

Narendra menceritakan awal mula dirinya memilih berkecimpung dari jaksa. Yakni, karena ada panggilan tradisi dan hati nurani. Ayahnya juga seorang jaksa. Bahkan, ayahnya pernah menjabat sebagai Atase Kejaksaan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bangkok, jabatan yang saat ini dipegangnya.

“Mungkin latar belakang budaya dan kultur yang menyebabkan. Ayah saya 26 tahun lalu jadi Atase Kejaksaan di Bangkok,” ujarnya membuka pembicaraan dengan Hukumonline di Bangkok, Thailand, Kamis (5/3) lalu.

“Mungkin karena tradisi lah. Itu kalimat yang tepat,” tambah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) ini.  

Tags:

Berita Terkait