Pembahasan RPP Jaminan Pensiun Alot
Utama

Pembahasan RPP Jaminan Pensiun Alot

Program berbagai jaminan sosial ketenagakerjaan sudah mulai berjalan 1 Juli 2015. Peraturan teknisnya belum juga terbit.

Oleh:
ADY THEA
Bacaan 2 Menit
Pembahasan RPP Jaminan Pensiun Alot
Hukumonline
Tinggal berbilang bulan, BPJS Ketenagakerjaan akan menyelenggarakan program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm) dan Jaminan Pensiun (JP). Keempat program itu secara resmi akan berlaku 1 Juli 2015 mendatang.

Ironisnya, hingga kini Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur keempat program jaminan sosial ketenagakerjaan itu belum juga terbit. Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Nasrudin, menjelaskan peraturan teknis untuk JKK dan JKm sudah selesai diharmonisasi. Ditargetkan April 2014 regulasi teknis yang dibutuhkan selesai begitu pula JHT.

Jaminan pensiun, menurut Pasal 39 UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pension atau mengalami cacat total tetap. Jaminan Pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.

Nasrudin mengakui pembahasan RPP Jaminan Pensiun berjalan alot di lintas kementerian. Isu yang dibahas alot antara lain tentang prosentase dan perhitungan Jaminan Pensiun, serta batas atas besaran iuran (ceiling). Kalangan buruh mengusulkan besaran iuran JP sebesar 8 persen, tetapi kalangan pengusaha menolak.

Sejauh ini instansi yang terlibat adalah Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Keuangan, dan aktuaria BPJS. Tentu saja Kementerian Hukum dan HAM juga ikut sebagai lawcenter negara. Menurut Nasrudin, Kemenkumham terus berusaha mendorong agar regulasi dimaksud terbit sebelum batas awal JP mulai. Kalau tak selesai juga lintas lembaga, RPP akan dibawa ke Presiden.

“Kalau pembahasan tak kunjung tuntas nanti pemerintah yang bakal memutus. Kalau tidak diputuskan segera nanti tidak akan selesai-selesai pembahasannya, padahal program ini kan harus operasional 1 Juli 2015,” kata Nasrudin kepada hukumonline di Jakarta, Jumat (20/3).

Terpisah, Koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengusulkan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegur Kemenkeu, Kemenaker dan DJSN karena tidak kunjung menyelesakan RPP  Jaminan Pensiun. Apalagi berbagai peraturan pelaksana BPJS Ketenagakerjaan, terutama JP harusnya sudah terbit dua tahun lalu. “Presiden sudah melanggar pasal 70 UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS,” ujarnya kepada hukumonline di Jakarta, Senin (23/3).

Timboel melihat usulan iuran JP di bawah 8 persen itu bukan saja disuarakan pengusaha selaku pemberi kerja tapi juga Kemenkeu. Selain itu Kemenkeu dinilai tidak mau ada dana kontigensi dan mengalihkan “manfaat pasti” jadi “iuran pasti.” Padahal, dana kontigensi itu penting untuk BPJS Ketenagakerjaan ketika mengalami kendala keuangan. Jika dana kontegensi itu ada maka pemerintah harus mengalokasikan APBN untuk dana kontigensi setiap tahunnya.

Timboel mengingatkan bahwa ‘manfaat pasti’ adalah amanah UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Jika manfaat itu hendak diubah menjadi ‘iuran pasti’ maka UU SJSN harus direvisi terlebih dulu. Jika yang berlaku ‘iuran pasti’ maka manfaat JP akan diberikan kepada peserta dalam bentuk lump sum atau dibayar sekaligus. Sedangkan “manfaat pasti,” manfaat diberikan kepada peserta setiap bulan sampai jangka waktu tertentu. “Dengan 'manfaat pasti' maka manfaat JP ditujukan untuk mempertahankan daya beli bulanan buruh ketika pensiun,” tukasnya.
Tags: