Idealnya, Revisi PP 99/2012 Setelah Pembahasan RKUHAP Rampung
Utama

Idealnya, Revisi PP 99/2012 Setelah Pembahasan RKUHAP Rampung

Remisi sebaiknya diberikan sekali dalam satu tahun, agar tidak terkesan diobral.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Anggota Komisi III DPR dari F-PPP, Arsul Sani. Foto: Istimewa
Rencana pemerintah melalui Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No.99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan nampaknya tak terbendung. Namun, bagi anggota Komisi III Arsul Sani, idealnya revisi dilakukan setelah rampung pembahasan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) oleh DPR.

“Saya berpendapat PP No.99 Tahun 2012 tidak direvisi sekarang,” ujarnya kepada hukumonline, Selasa (24/3).

Arsul beralasan, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019, DPR bersama pemerintah telah menyepakati sejumlah RUU terkait dengan perbaikan dan penataan sistem peradilan pidana terpadu. Nah, pembahasan dilakukan secara simultan satu dengan lainnya. Dalam Prolegnas tahunan, RKUHP menjadi pembuka pembahasannya antara DPR dengan pemerintah. Selanjutnya, RKUHAP dan kelembagaan penegak hukum. Mulai RUU Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, serta Mahkamah Agung.

Sedangkan remisi merupakan bagian dari kebijakan pemasyarakatan (correctional policy). Nah, remisi berada dalam sistem peradilan pidana di urutan terakhir. Menurutnya, urutan pertama adalah hukum materil. “Tidak tertutup kemungkinan dalam hukum pidana materil kita (KUHP) dan atau hukum pidana formil (KUHAP) kita juga akan bersinggungan dengan persoalan remisi,” katanya.

Pria berlatar belakang advokat ini mengatakan, boleh jadi bentuk hukuman atau pidana pokok dalam RKUHP dikembangkan mencakup kewenangan hakim. Nah, kewenangan hakim dapat dikembangkan mencakup dapat memutuskan apakah suatu pidana penjara diserta dengan remisi, pembebasan bersyarat, atau tidak. Selanjutnya, jika diberikan remisi boleh jadi dapat ditetapkan syarat tertentu dalam vonis hakim.

“Nah, kalau PP itu diubah sekarang, kan bisa saja doal aturan atau kebijakan remisi ini tidak singkron dengan kebijakan penghukuman yang diatur dalam KUHP baru kita nanti,” ujarnya.

Alasan lainnya, terdapat negara-negara yang sistem hukumnya menganut pembedaan perlakuan terhadap narapidana kejahatan luar biasa. Menurutnya, perlakuan pemberian remisi dengan ketat dilakukan atas dasar pemberatasan syarat sebagaimana dalam PP 99/2012. Dengan kata lain, penerapan pengetatan pemberian remisi yang dilakukan pemerintah melalui aturan PP 99/2012 tak jauh berbeda dengan beberapa negara lain. “Jadi kita juga tidak sendirian,” imbuhnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpandangan terkait dengan narapidana korupsi, memang adanya persyaratan yakni kewajiban terlebih dahulu melunasi denda dan uang pengganti. Syarat itu penting diberikan agar tujuan penindakan dan pemberantasan korupsi dapat mengembalikan kerugian negara tercapai. “Menjadi pas dari sisi keadilan masyarakat jika napi korupsi yang punya aset, tetapi belum mempergunakan asetnya untuk bayar uang pengganti dan denda, terus dia dapat remisi secara terus-menerus,“ katanya.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara  Pemilu (DKPP), Jimly Asshiddiqie, mengatakan remisi menjadi hak narapidana. Menurutnya, adalah hal yang diperbolehkan memperketat pemberian remisi dengan syarat tertentu terhadap  kejahatan yang dikategorikan luar biasa. Kebijakan tersebut menjadi kewenangan pemerintah. Terpenting, hak remisi tetap diberikan dengan tanpa mengabaikan hak asasi manusia.

Kendati demikian, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyarankan agar revisi aturan remisi tak dilakukan pada tahun ini. Apalagi, telah terjadi pelemahan terhadap lembaga anti rasua, KPK belakangan ini. Selain itu, pemerintah diminta  tak memberikan remisi dengan mudah kepada narapidana, khususnya pelaku kejahatan luar biasa. Jimly berpandangan ada baiknya pemerintah memberikan remisi sekali dalam satu tiap tahunnya.

“Jangan seperti sekarang setiap hari besar agama kasih remisi, jadi terlalu royal, terlalu sering. Cukup setahun sekali saja dikaitkan dengan 17 Agustus hari kemerdekaan,” tandas ahli hukum tata negara itu.

Anggota Komisi III  Nasir Djamil mempersilakan pemerintah merevisi PP 99/2012. Namun dalam merevisi PP dan penegakan hukum pemerintah mesti memperhatikan hak asasi manusia. Nasir mendukung pemerintah merevisi PP 99/2012 sepanjang demi perbaikan peraturan tentang pemasyarakatan. “Sebab filosofi pemidanaan kita bukan balas dendam, tapi membuat orang berbuat baik. Makanya disebut warga binaan,” katanya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengamini pandangan Jimly. Menurutnya, meski pemberian remisi satu tahun sekali, mesti dibuat mekanisme dan aturan dengan berdasar kelakuan baik narapidana di Lapas. Lebih jauh Nasir berpandangan, ketimbang merevisi PP 99/2012, ada baiknya merombak UU Pemasyarakatan sebagai payung hukum, agar tidak tambal sulam ketika PP terdapat celah hukum.

“Jadi kita maunya apa, apakah orang yang ditahan mau djadikan sapi perah atau bianaan. Dengan kata lain mau dibina atau dibinasakan?,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait