WNA Tak Bisa Uji Undang-Undang Indonesia
Utama

WNA Tak Bisa Uji Undang-Undang Indonesia

Permohonan pengujian Undang-Undang Indonesia oleh seorang Warga Negara Nigeria tidak dapat diterima. Apa alasan Mahkamah Konstitusi?

Oleh:
AGUS SAHBANI/MYS
Bacaan 2 Menit
Majelis MK. Foto: RES
Majelis MK. Foto: RES
Mahkamah Konstitusi benar-benar menutup pintu untuk warga negara asing (WNA) mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Indonesia terhadap UUD 1945. Dalam putusan terbaru atas perkara No. 137/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan yang diajukan seorang WNA dan beberapa orang penasehat hukumnya tidak dapat diterima.

Khusus mengenai WNA, Mahkamah menyatakan pemohon yang berstatus WNA tidak mempunyai legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.

Putusan ini diambil atas permohonan Agbasi Chika, seorang warga negara Nigeria yang tersandung masalah hukum di Indonesia. Pemohon lain adalah beberapa orang kuasa hukum Agbasi dari kantor hukum Law Office IDCC & Associates. Agbasi mengajukan pengujian Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011. Pasal ini mengatur kerugian konstitusional sebagai dasar mengajukan permohonan judicial review ke MK.

Agbasi menganggap berlakunya Pasal 51 ayat (1) UU MK tersebut  mengurangi, merugikan dan membatasi hak konstitusionalnya di Indonesia. Padahal, Indonesia mengklaim diri sebagai negara hukum. Agbasi telah dihukum dengan menggunakan perundang-undangan Indonesia, sehingga ia layak mendapatkan perlakuan hukum yang sama dengan Warga Negara Indonesia (WNI), termasuk memohonkan pengujian Undang-Undang Indonesia.

Namun, rupanya, Mahkamah Konstitusi berpendapat lain. Mahkamah tegas-tegas menyatakan Agbasi sebagai WNA tidak memiliki legal standing. Dalam argumentasinya, Mahkamah merujuk pada rumusan Pasal 51 ayat (1) UUMK bahwa yang boleh mengajukan judicial review adalah  perorangan warga negara Indonesia. Selain itu subjek yang boleh adalah  kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, badan hukum publik atau privat; dan lembaga negara.

Majelis juga mengutip putusan MK No. 73/PUU-VIII/2010 dan putusan No. 2-3/PUU-V/2007 yang menegaskan bahwa rumusan Pasal 51 ayat (1) UUMK sudah ‘sangat jelas dan tegas’ (expressis verbis). Intinya, hanya WNI yang berhak, sedangkan WNA tidak berhak. Dalam putusa perkara terakhir ini, Mahkamah  menyatakan ‘tidak dimungkinkannya WNA mempersoalkan suatu Undang-Undang Republik Indonesia tidak berarti bahwa WNA tidak memperoleh perlindungan hukum menurut prinsip due process of law..”. Dengan kata lain, WNA tidak memenuhi kualifikasi yang diatur Pasal 51 ayat (1) UUMK.

Putusan tahun 2007 itu pulalah yang sekarang dijadikan rujukan oleh Mahkamah Konstitusi. Rujukan itu tertuang jelas dalam pertimbangan poin (3.12): “Menimbang bahwa berdasarkan putusan No. 73/PUU-VIII/2010 bertanggal 28 Februari 2011 tersebut, menurut Mahkamah, pemohon II tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo”.

Mengenai pemohon berlatar belakang kuasa hukum Agbasi, Majelis Mahkamah melihat bahwa permohonan mereka lebih mempersoalkan kerugian konstitusional dalam menjalankan profesi advokat daripada sebagai pribadi yang langsung dirugikan oleh berlakunya norma undang-undang yang diuji. Karena itu, menurut Mahkamah tidak ada kerugian konstitusional yang dialami pemohon, sehingga pemohon I tidak memiliki legal standing,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto saat membacakan pertimbangan putusan.

Sekadar informasi, pengadilan tingkat kasasi MA memvonis Agbasi Chika selama 20 tahun penjara karena terbukti mengedarkan narkotika dan melanggar UU Pencucian Uang tanpa batang bukti narkotika. Padahal, pada 2008 Pengadilan Jakarta Barat hanya menyatakan terdakwa terbukti melanggar UU Pencucian Uang, sementara dakwaan melanggar UU Narkotika tidak terbukti. Putusan itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Kini, perkaranya tengah dimohonkan Peninjauan Kembali (PK).

Kewarganegaraan ganda
Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini menegaskan bahwa setiap WNA tak bisa mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Indonesia terhadap UUD 1945. Namun dalam putusan perkara ini atau perkara-perkara terdahulu belum dipertimbangkan bagaimana dengan orang yang berkewarganegaraan ganda.

UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan mengenal kewarganegaraan ganda, yakni anak yang lahir dari perkawinan campuran (WNI dan WNA). Ia separuh WNI, separuh WNA.

Normatifnya, jika terjadi kewarganegaraan ganda, anak hasil perkawinan campuran itu diharuskan memilih salah satu kewarganegaraan pada usia 18 tahun. Pernyataan memilih kewarganegaraan itu harus sudah disampaikan paling lambat tiga tahun sejak ia berusia 18 tahun atau menikah. Artinya, pernyataan bisa disampaikan saat anak hasil perkawinan campuran itu berusia 21 tahun.

Pertanyaannya, apakah orang yang berkewarganegaraan ganda bisa mengajukan permohonan uji materi tepat pada saat ia sudah berusia 21 tahun lewat beberapa hari, tetapi belum mengirimkan pernyataan memilih kewarganegaraan? Batas usia 21 tahun ini adalah ukuran legal standing yang pernah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Saat permohonan sudah diproses, misalnya, lalu si pemohon berkewarganegaraan ganda itu memutuskan menjadi WNA, apakah otomatis permohonannya tidak dapat diterima?

Bagaimana pula dengan seorang WNI yang baru berusia 20 tahun tetapi sudah memperoleh gelar sarjana. Apakah ia tidak boleh langsung mengajukan permohonan atau tetap harus melalui wali/pengampu? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab Mahkamah dalam permohonan yang mungkin muncul kelak.
Tags:

Berita Terkait