Pemberhentian Sementara Demi Jaga Wibawa KPK
Berita

Pemberhentian Sementara Demi Jaga Wibawa KPK

Perlu diatur tata cara bagaimana mengisi kekosongan pimpinan KPK untuk melaksanakan tugas pimpinan KPK yang diberhentikan sementara.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemberhentian Sementara Demi Jaga Wibawa KPK
Hukumonline
Pemerintah dan DPR sepakat pemberhentian sementara bagi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang terlibat kejahatan dan ditetapkan tersangka seperti diatur Pasal 32 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK demi menjaga wibawa dan citra lembaga tersebut. Apalagi, KPK bertugas menangani kejahatan tindak pidana korupsi yang dikategorikan kejahatan luar biasa, sehingga pimpinannya harus dituntut bersih. 

“Justru pemberhentian sementara pimpinan KPK agar mereka lebih fokus pada penyelesaian persoalan kasus hukumnya. Ini pun demi kelancaran tugas-tugas KPK,” ujar anggota Komisi III DPR, Didik Mukrianto dalam sidang lanjutan pengujian UU KPK yang dimohonkan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) dan Gerakan Mahasiswa Hukum Jakarta (GMHJ) di ruang sidang MK, Kamis (26/3).

Didik menerangkan sesuai Pasal 5 jo Pasal 8 UU KPK, pimpinan KPK memiliki tugas dan wewenang yang luar biasa yang tidak dimiliki kepolisian dan kejaksaan. KPK juga memiliki fungsi koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan terkait penanganan korupsi masing-masing lembaga.

Bahkan, jika diperlukan KPK dapat mengambilalih kasus korupsi yang tengah ditangani kedua lembaga penegak hukum tersebut apabila penanganan kasus berlarut-larut. Karena itu, pimpinan KPK harus memiliki persyaratan khusus seperti jujur, akuntabel, transparan, dan menjunjung tinggi hukum.

Untuk itu, adanya aturan pemberhetian sementara bagi pimpinan KPK jika ditersangkakan, menunjukkan tidak adanya toleransi sekecil apapun terhadap kejahatan. Hal ini bentuk sanksi luar biasa pada pimpinan KPK yang berbeda dengan pimpinan lembaga lain seperti kejaksaan dan kepolisian terkait pemberhentian sementara. Sebab pimpinan KPK harus menjadi contoh dan suri tauladan yang baik.

Direktur Jenderal Peraturan Perundangan-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi menuturkan adanya Pasal 32 ayat (2) UU KPK justru agar pimpinan KPK clear and clean mengingat besarnya kewenangan KPK ketika menjalankan kewenangannya. Karena itu, pemberhentian pimpinan KPK ketika dijadikan tersangka cukup adil dan proporsional demi kelancaran tugas dan wewenang KPK.

“Niat pembentuk UU menciptakan KPK yang siapa pun SDM nya itu clean dan clear. Jangan hanya dilihat melalui kasus kemarin karena kondisi itu (penetapan tersangka pimpinan KPK) tidak bisa dijadikan acuan akan terjadi lagi ke depannya,” ujar Wicipto.

“Ke depan, perlu diatur tata cara bagaimana mengisi kekosongan pimpinan KPK untuk melaksanakan tugas pimpinan KPK yang diberhentikan sementara,” harapnya.

Sebelumnya, FKHK dan GMHJ memohon pengujian Pasal 32 ayat (2) UU KPK terkait pemberhentian pimpinan KPK yang terlibat kejahatan. Mereka menganggap ketentuan itu melanggar asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dijamin Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Sementara pemberhentian sementara tidak berlaku bagi pimpinan kepolisian dan kejaksaan. Sebab,  UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan tidak mengatur pemberhentian sementara jika pimpinan kedua institusi itu ditetapkan sebagai tersangka.

Menurutnya, berlakunya Pasal 32 ayat (2) UU KPK mengakibatkan fungsi KPK menjadi tidak efektif dan menghambat kinerja lembaga antirasuah itu memberantas korupsi di Indonesia. Terutama, setelah dua pimpinan KPK  Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka terkait menyuruh memberikan keterangan palsu dan pemalsuan dokumen. Karenanya, pemohon minta MK menghapus Pasal 32 ayat (2) UU KPK itu karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) dan UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait