Seknas Fitra Anggap Dana Aspirasi Akal-Akalan
Berita

Seknas Fitra Anggap Dana Aspirasi Akal-Akalan

Tidak ada dasar hukum yang kuat untuk dana aspirasi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Seknas Fitra Anggap Dana Aspirasi Akal-Akalan
Hukumonline
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) menolak dana pembangunan daerah pemilihan (dapil). Manager Advokasi Seknas Fitra, Apung Widadi, mengatakan pada periode DPR sebelumnya dana itu disebut dana aspirasi dan mendapat penolakan keras dari publik. Bahkan ada anggota Komisi III DPR periode sekarang yang menyebut dana pembangunan dapil itu sebagai dana Bansos DPR.

Apung melihat lewat dana pembangunan dapil itu DPR menafsirkan kalau dapil hanya membutuhkan anggaran dari APBN. Padahal, aspirasi masyarakat tidak melulu masalah uang tapi akses informasi, kebijakan publik, pendidikan dan kesehatan.

Selain itu, dikatakan Apung, dalam masa sidang kedua ini DPR akan memperjuangkan dana aspirasi sebesar Rp3-10 milyar per orang setiap tahun. Jika yang disetujui nanti Rp10 milyar, maka dana yang dibutuhkan untuk 560 anggota DPR sebesar Rp5,6 triliun setahun. Dana itu lebih besar dari cadangan krisis pangan di APBN-P 2015 yang jumlahnya kurang dari Rp1 triliun.

Ditambah lagi dengan hak DPR yang secara diam-diam dimasukan dalam pasal 80 huruf (j) UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Ketentuan itu menyebut hak DPR untuk mengusulkan dan memperjuangkan pembangunan dapil. Padahal, ketentuan itu tidak masuk dalam draft RUU MD3. Ketentuan itu sekarang digunakan DPR untuk mendapat dana aspirasi.

DPR juga telah mengalokasikan dana rumah aspirasi dalam APBN 2015. Dana yang dikelola tahun ini sampai Rp5,192 triliun dan Rp1,625 triliun dialokasikan dari APBN-P 2015 untuk membiayai rumah aspirasi di dapil. Dengan anggaran itu maka setiap anggota DPR mengantongi Rp150 juta per tahun. "Seknas Fitra menolak tegas alokasi anggaran untuk dana aspirasi," kata Apung dalam jumpa pers di kantor Seknas Fitra di Jakarta, Rabu (25/3).

Anggaran dapil itu menurut Apung tumpang tindih karena setiap bulan dalam tunjangan anggota DPR ada dana untuk kepentingan masyarakat sebesar Rp40.140.000 per orang. Tunjangan itu terdiri dari uang pulsa Rp14.140.000 per bulan, tunjangan menyerap aspirasi masyarakat Rp8.500.000.

Kemudian, tunjangan peningkatan legislasi, anggaran dan pengawasan Rp15.000.000 serta uang pengawasan dan anggaran Rp2.500.000. Dengan tunjangan itu Apung mengatakan anggota DPR mestinya tidak perlu lagi mendapat tunjangan untuk rumah aspirasi di daerah karena memboroskan uang negara.

Atas dasar itu Apung mendesak DPR lebih fokus pada kerja-kerja legislasi ketimbang memperjuangkan dana aspirasi Rp5,6 milyar per tahun. Apalagi banyak regulasi yang penting untuk dibahas seperti RUU tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, RUU Perbankan, BI dan Migas.

Sekjen Seknas Fitra, Yeni Sucipto, menilai dana aspirasi yang diusulkan DPR tidak punya dasar hukum yang kuat. Dana aspirasi itu tidak masuk dalam sistem penganggaran keuangan sebagaimana UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Mengacu pasal 12 ayat (2) UU keuangan Negara, RAPBN disusun berpedoman pada rencana kerja pemerintah, bukan berdasarkan dapil.

Yeni berpendapat DPR tidak memiliki instrumen perencanaan yang merupakan ranah pemerintah. “Argumentasi DPR yang memasukan pasal 80 huruf (j) UU MD3 tidak berdasar, lemah dan cenderung akal-akalan. Pasal karet itu multitafsir, tapi yang jelas tidak serta merta penyaluran aspirasi dapil harus bersifat uang atau dana anggaran dari APBN,” ujarnya.

Mengacu pasal 70 ayat (2) UU MD3, dikatakan Yeni, fungsi DPR membahas dan memberi persetujuan atau tidak terhadap RUU yang diajukan Presiden. Jadi tidak ada hak DPR untuk meminta jatah alokasi anggaran dana aspirasi. Fungsi anggaran DPR harusnya ditujukan agar RAPBN yang diajukan pemerintah mencapai tujuan bernegara.

Yeni melihat dana aspirasi tidak punya tujuan yang jelas. Tidak sesuai dengan pendekatan anggaran berbasis fungsi dan kinerja. Orientasi dana aspirasi lebih cenderung mengarah pada kepentingan politik dibanding menyukseskan kinerja pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan publik. Hal itu melanggar prinsip kinerja sesuai amanat UU Keuangan Negara.

Potensi korupsi dana aspirasi pun lebih tinggi ketimbang dana hibah dan bansos. Yeni khawatir dana aspirasi ditujukan untuk mengganti dana bansos dan hibah yang sudah dihapus. Dengan absennya payung hukum dan petunjuk teknis dana aspirasi, bisa jadi semua anggota DPR terjerat korupsi.
Tags:

Berita Terkait