Sekali Lagi, Pro Kontra Remisi untuk Napi Koruptor
Berita

Sekali Lagi, Pro Kontra Remisi untuk Napi Koruptor

Kejahatan korupsi merugikan masyarakat luas.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Johan Budi. Foto: RES
Johan Budi. Foto: RES
Plt pimpinan KPK, Johan Budi, mengatakan lembaganya menolak jika remisi dan pembebasan bersyarat (PB) untuk semua tindak pidana diperlakukan sama. Apalagi untuk terpidana kasus korupsi. Johan  mengingatkan korupsi telah disepakati bersama sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Pemberian remisi yang menjadi hak terpidana juga harus dilihat dalam konteks sifat kejahatan korupsi tersebut. “Kalau semua disamakan maka tidak adil, jadi kalau remisi untuk terpidana korupsi, narkotika, terorisme dan maling ayam itu sama, ya tidak begitu,” kata Johan Budi di Jakarta di Jakarta, Selasa (24/3).

Pernyataan itu dilontarkan Johan menanggapi rencana revisi PP No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakata yang diwacanakan Menkumham, Yasonna H. Laoly. Menurut Johan, jika revisi dalam rangka mengembalikan kewenangan Kemenkumham dalam memberikan remisi dan PB tanpa melibatkan institusi lain maka sah-sah saja. Tetapi jika semangatnya untuk memberikan perlakuan yang sama kepada semua terpidana, Johan meminta Yasonna berhati-hati. Jangan sampai gagasan itu bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi yang diusung pemerintahan Jokowi-JK.

Johan mengatakan harus ada semangat yang berbeda terhadap koruptor karena tindakan yang diperbuatnya menyengsarakan masyarakat luas. Baginya, tujuan pemberantasan korupsi bukan saja mengembalikan uang negara yang dirampok tapi juga menimbulkan efek jera.

PP No. 99 Tahun 2012, kata Johan, menyeleksi serius pelaku tindak pidana korupsi yang mau mendapat remisi dan PB. Diantaranya, harus mendapat rekomendasi dari institusi penegak hukum, menjadi justice collaborator dan bukan pelaku utama tindak kejahatan yang dilakukannya. “PP No. 99 Tahun 2012 itu penting untuk menyeleksi pemberian remisi dan PB agar tidak diobral,” tukasnya.

Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani, mengakui dalam rapat kerja dengan Kemenkumham beberapa waktu lalu beberapa anggota Dewan mengusulkan revisi beleid pemerintah tersebut. Arsul sendiri lebih menunggu perubahan perundang-undangan acara pidana. “Sebelum ada imbangannya, khususnya kepada narapidana kasus korupsi, maka akan tercipta ketidakadilan bagi narapidana untuk kasus lain,” ujar Asrul.

Menurut Asrul, PP No. 99 Tahun 2012 tidak diskriminatif terhadap terpidana kasus korupsi. Sebab, syarat untuk mengajukan remisi hanya dua yakni menjadi justice collaborator dan mengembalikan uang pengganti.

Staf Ahli Menkumham Bidang Pelanggaran HAM, Ma'mun, mengatakan Menteri Yasonna menginginkan sistem peradilan pidana yang proporsional. Masing-masing institusi melaksanakan kewenangannya sebagaimana aturan. “Misalnya, KPK kan tidak berwenang mengatur soal remisi,” paparnya.

Menurut dia, Menteri pada dasarnya tidak menyamakan semua narapidana untuk mendapatkan remisi dan PB. Tapi juga tidak ingin menutup peluang narapidana untuk mendapatkannya. “Kami setuju korupsi sebagai kejahatan luar biasa tapi peluang mereka (terpidana korupsi,-red) mendapat remisi jangan ditutup. Makanya itu hukuman harus seberat beratnya, bukan malah mencabut hak untuk mendapat remisi dan PB,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait