Pemerintah Berencana Wajibkan L/C Bagi Sektor Energi
Berita

Pemerintah Berencana Wajibkan L/C Bagi Sektor Energi

Kebijakan tersebut dinilai akan menurunkan pendapatan negara.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Lokasi tambang. Foto: ADY (Ilustrasi)
Lokasi tambang. Foto: ADY (Ilustrasi)
Saat ini pemerintah tengah fokus menurunkan defisit transaksi berjalan dalam rangka memperkuat rupiah yang tengah bergejolak. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menargetkan defisit neraca transaksi berjalan 2,5 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto. Upaya itu antara lain diwujudkan melalui paket ekonomi lanjutan.

Salah satu paket ekonomi yang telah diumumkan pemerintah adalah mewajibkan letter of credit (L/C) untuk ekspor sumber daya alam utama, yakni tambang mineral, batubara, migas, dan minyak sawit mentah (CPO). Rencananya, kebijakan ini akan berlaku mulai tanggal 1 April besok. Namun hingga kini, kontroversi masih mewarnai rencana pemberlakuan ketentuan itu.

PT Pertamina (Persero) dan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) telah menyatakan secara terbuka penolakannya atas rencana pembelakuan L/C sebagai metode pembayaran ekspor. Indonesia Petroleum Association (IPA) pun menilai, pembelakukan wajib L/C esok hanya akan mengganggu keberlangsungan roda industri energi nasional.

Selama ini, kebanyakan pelaku usaha di sektor industri menggunakan Telegraphic Transfer (TT). Hal ini lantaran kebanyaan kegiatan ekspor yang dilakukan rata-rata berdasarkan kontrak jangka panjang dengan pembeli di luarnegeri. Dengan demikian, transaksi menggunakan harga yang tetap.

“Ini tidak bisa diubah tanpa menimbulkan implikasi besar. Sebab, memang hampir semua kontrak ekspor adalah jangka panjang,” ujar Direktur Eksekutif IPA, Dipnala Tanzil, di Jakarta, Senin (30/3).

Dipnala menuturkan, banyak pembeli yang tidak akan bersedia mengeluarkan L/C karena dalam proses penerbitannya, para pembeli justru harus mengeluarkan biaya tambahan saat mengimpor produk dari Indonesia. Akibatnya, biaya yang harus ditanggung pembeli jadi membengkak.

“Beberapa sudah menyatakan tidak bersedia mengeluarkan L/C dan biaya tambahan,” tandasnya.

Kondisi demikian, menurutnya,akan sangat membawa dampak besar bagi industri migas di Indonesia. Ia menilai, jika pemerintah tetap memaksa pembelakuan wajib L/C, maka penerimaan negara dari sektor energi khususnya migas akan berkurag drastis. Sebab, Dipnala melihat bahwa kebijakan wajib L/C justru membuat produk migas Indonesia menjadi tidak kompetitif.

“Produk kita jadi tidak kompetitif lagi. Kebijakan itu menimbulkan tambahan biaya yang cukup siginifikan soalnya,” tuturnya.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef),Enny Sri Hartati, mengungkapkan bahwa penyumbang utama defisit transaksi berjalan pada 2014 adalah defisit neraca finansial dan neraca jasa. Oleh karena itu, ia menilai, seharusnya paket kebijakan ekonomi diarahkan untuk memperbaiki neraca finansial dan neraca jasa. Sementara itu, kebijakan berupa wajib L/C baru akan efektif untuk jangka menengah-panjang.

“Secara umum, kebijakan ekonomi tersebut bisa membuat struktur ekonomi Indonesia sedikit membaik pada semester kedua tahun ini. Namun efektivitasnya dalam menurunkan defisit transaksi berjalan baru terasa awal tahun depan,” tuturnya.

Sementara itu, Enny mengingatkan bahwa saat ini yang lebih penting adalah kebijakan untuk menangani persoalan ekonomi hingga pertengahan tahun 2015. Menurutnya, dalam jangka pendek  kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah tersebut hanya akan membantu stabilisasi rupiah bila ada kebijakan tambahan dari pemerintah.

Sehingga, ia menekankan bahwa pemerintah perlu menambah paket kebijakan ekonomi untuk menurunkan defisit transaksi berjalan dalam jangka pendek.“Jadi, dibutuhkan paket ekonomi tambahan yang bisa menstabilkan rupiah dan menurunkan defisit transaksi berjalan untuk jangka pendek,” katanya.

Enny mencontohkan kebijakan jangka pendek yang bisa diambil pemerintah adalah mencegah perusahaan melakukan transfer devisa. Sedangkan perusahaan yang mempertahankan devisanya di Indonesia, ia menilai perlu diberi insentif.

Kebijakan jangka pendek lainnya menurut enny adalah memfasilitasi produk-produk domestik yang masih memiliki permintaan tinggi di pasar ekspor, seperti produk kerajinan dan furniture.
Tags:

Berita Terkait