Menyoal Rasio Legis Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase
Utama

Menyoal Rasio Legis Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase

MK diminta memberikan kepastian karena ketiadaan kepastian aturan dapat menimbulkan ketidakadilan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pemohon Ongkowijoyo Onggowarsito (paling kanan). Foto: Humas MK
Pemohon Ongkowijoyo Onggowarsito (paling kanan). Foto: Humas MK
Mantan Hakim Konstitusi Harjono berpendapat ketiadaan batas akhir penyerahan putusan arbitrase internasional seperti diaturPasal 67 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) diskriminatif. Sebab, dalam praktiknya ketentuan itu mengandung pembedaan dengan pelaksanaan pengajuan putusan pembatalan arbitrase nasional.

“Politik hukum apa yang melatabelakangi lahirnya pasal itu, kenapa harus dibedakan? Ini belum jelas, saya sendiri tidak menemukan rasio legis yang terkandung dalam Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase ini,” kata Harjono saat dimintai pandangannya sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Arbitrase dan APS di MK, Senin (30/3).

Sebelumnya, pemerintah sudah menepis pandangan pemohon. Permohonan ini diajukan Direktur PT Indiratex Spindo Ongkowijoyo Onggowarsito. Pemerintah beranggapan pasal-pasal yang dimohonkan sudah konstitusional.

Harjono menjelaskan Pasal 71 UU Arbitrase dan APS sendiri hanya memberi waktu 30 hari untuk membatalkan putusan arbitrase internasional atau nasional terhitung sejak pendaftaran atau penyerahan. Mantan hakim MK ini menilai ada diskriminasi akibat pembedaan aturan.
“Tentunya, batasan waktu 30 hari untuk membatalkan putusan arbitrase internasional dan ketiadaan pemberitahuan kepada para pihak sangat merugikan pihak yang ingin mengajukan pembatalan putusan arbitrase internasional,” kata dia.

Menurut Harjono, batas waktu penyerahan putusan arbitrase internasional menjamin adanya kepastian hukum. Sebaliknya, jangka waktu penyerahahan tidak terlalu lama dan tidak terlalu mepet. Sebab, dikhawatirkan melanggar prinsip justice delay, jutice denied, sesuatu yang ditunda akan melahirkan ketidakadilan. “Kalau (batas) waktunya mepet nanti para pihak tidak sempat memahami apa yang sebenarnya terjadi dalam isi putusan itu,” lanjutnya.

Ahli yang dihadirkan pemohon ini menuturkan ketentuan dalam UU ini cukup merugikan para pihak yang seharusnya dilindungi. Sebaliknya, dapat menguntungkan pihak yang seharusnya tidak dilindungi karena ada putusan arbitrase internasional yang bertentangan dengan ketertiban umum. “Sangatlah mungkin suatu saat seseorang mendapatkan keuntungan atas kelemahan UU ini dan pada kesempatan lain itu dia dirugikan dengan UU ini,” tegasnya.

Karena itu, Harjono berharap Mahkamah memberi kepastian hukum dan keadilan terkait pengujian undang-undang ini. Kalaupun mengabulkan permohonan ini, MK baru menyelesaikan satu faktor saja dari sekian banyak persoalan yang bisa timbul dari pelaksanaan UU Arbitrase dan APS dalam praktik.

“Mahkamah harus memberikan kepastian atas pengujian UU Arbitrase ini karena ketiadaan kepastian aturan dapat menimbulkan unfairness (ketidakadilan). Lalu, dalam unfairness ini ada ruang untuk mempermainkan hukum,” ungkapnya.

Sebelumnya, Direktur PT Indiratex Spindo Ongkowijoyo Onggowarsito mempersoalkan Pasal 67 ayat (1) dan pasal 71 UU Arbitrase dan APS. Menurut pemohon, Pasal 67 ayat (1) UU Arbitrase dan APS tidak mengatur batas akhir penyerahan putusan arbitrase internasional, sehingga penyerahan putusan arbitrase internasional bisa didaftarkan kapanpun.Sebaliknya, tenggat waktu mengajukan pembatalan putusan arbitrase nasional atau internasional hanya dibatasi 30 hari setelah pendaftaran seperti diatur Pasal 71 UU Arbitrase.

Dalam perkara pemohon, tidak ada kejelasan kapan putusan arbitrase internasional akan didaftarkan. Belakangan diketahui putusan arbitrase internasional yang melibatkan pemohon baru didaftarkan ke PN Jakarta Pusat 1 tahun 5 bulan setelah diputuskan.

Terlebih, setelah adanya pendaftaran putusan arbitrase internasional itu, kliennya baru diberitahu 3 bulan setelah didaftarkan ke PN Jakarta Pusat. Akibat kekosongan hukum ini berakibat pemohon selaku termohon eksekusi kehilangan hak mengajukan upaya hukum permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional ke PN Jakarta Pusat.

Karena itu, pemohon meminta MK menghapus kedua pasal itu karena bertentangan dengan UUD 1945. Atau, Pasal 67 ayat (1) huruf d UU Arbitrase dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai: “Putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera PN Jakarta Pusat paling lambat 30 hari sejak tanggal Putusan Arbitrase dijatuhkan.” 

Ia juga meminta agar Pasal 71 UU Arbitrase konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera PN tersebut diberitahukan kepada termohon eksekusi”.
Tags:

Berita Terkait