Pemerintah Revisi Perpres Jaminan Kesehatan
Berita

Pemerintah Revisi Perpres Jaminan Kesehatan

Materi yang direvisi antara lain tentang manfaat dan PBI. Kartu Indonesia Sehat akan dimasukkan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Ketua DJSN Chazali Situmorang (kiri). Foto: SGP
Ketua DJSN Chazali Situmorang (kiri). Foto: SGP
Pemerintah berusaha merevisi Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Chazali Situmorang, membenarkan informasi perubahan itu.

Pemerintah, terutama para pemangku kepentingan BPJS, ingin melakukan perubahan yang komprehensif. “Revisi Perpres Jamkes saat ini agak komprehensif,” katanya kepada hukumonline di Jakarta, Kamis (26/3).

Materi yang direvisi antara lain kenaikan iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI), pelayanan untuk peserta yang mengalami gangguan kesehatan karena hobi. Klausula yang terakhir ini ternyata multitafsir, dan akan dibenahi lewat revisi Perpres. Selain itu, bayi dari orang tua peserta PBI akan otomatis menjadi peserta PBI. Ini akan ditegaskan kembali meskipun sudah disinggung dalam PP No. 101 Tahun 2012 tentang PBI.

Program Kartu Indonesia Sehat (KIS) akan dimasukkan dalam revisi Perpres. Program yang identik dengan Presiden Jokowi ini akan dimasukkan sebagai bagian dari sistem jaminan nasional.

Revisi Perpres Jamkes juga akan memperjelas peran BPJS Kesehatan dalam kendali mutu dan biaya. Selama ini kendali mutu dan biaya jadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Padahal, BPJS Kesehatan perlu berperan aktif guna mendorong optimalisasi pelayanan.

Sistem rujukan nantinya akan dibagi per region. Saat ini, baru lima regional yang diusulkan. Rujukan regional dibentuk –setidaknya—di tingkat provinsi. Ini menyesuaikan dengan kemampuan daerah. Itu berarti besaran tariff pelayanan juga disesuaikan dengan kemampuan region. Ini berbeda dari kebijakan saat ini dimana besaran tarif dipukul rata untuk semua wilayah sehingga tidak semua rumah sakit (RS) meraih untung.

Sebelumnya, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, mengatakan besaran kenaikan iuran BPJS masih dihitung. Sedangkan iuran PBI berkaitan langsung dengan APBN 2016. Namun dalam asuransi kesehatan, yang paling penting adalah keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran. Oleh karenanya, antara besaran iuran dan manfaat yang diterima peserta harus sesuai. “Harus ada keseimbangan antara iuran dan pengeluaran,” ujarnya.

Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI, Hasbullah Thabrany, mengusulkan perbaikan-perbaikan dalam program jaminan kesehatan nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan. Ia menilai banyak hal yang harus segera diperbaiki terutama pelayanan terhadap peserta. Dari sisi teknis peraturan, ia menyarankan penyelarasan regulasi guna mencegah tumpang tindih dan ketidaksinkronan.

Hasbullah juga menyarankan pemerintah menaikan iuran dan batas atas (ceiling) upah per bulan yang digunakan sebagai dasar perhitungan besaran iuran jaminan kesehatan bagi peserta penerima upah (PPU). Dalam Perpres Jamkes batas atas yang digunakan hanya dua kali Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Itu membuat prinsip gotong royong (sharing) dalam program JKN tidak berjalan optimal. “Seperti usulan serikat pekerja, batas atas itu mestinya tujuh kali PTKP, tapi kenapa dalam Perpres Jamkes hanya dua kali PTKP,” urainya.

Hasbullah berpendapat kenaikan iuran penting agar BPJS Kesehatan bisa membayar dengan besaran yang memadai bagi fasilitas kesehatan (faskes). Jika biaya yang diberikan minim maka peserta BPJS Kesehatan jadi korban. Itu dapat dilihat dari tindakan sejumlah RS yang membatasi pelayanan untuk peserta BPJS Kesehatan. Misalnya, melayani peserta BPJS Kesehatan hari Senin-Jumat hanya sampai pukul 14.00 WIB. Padahal, RS, terutama milik pemerintah harus memberi pelayanan setiap hari, tak terkecuali untuk peserta BPJS Kesehatan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, khawatir revisi Perpres Jamkes akan memundurkan batas waktu kepesertaan peserta penerima upah (PPU) dari 1 Januari 2015 menjadi 1 Januari 2017. “Ada indikasi kalau pengusaha mau mengubah batas waktu kepesertaan BPJS Kesehatan untuk pekerja formal,” ucapnya di Jakarta, Senin (30/3).

Mengenai batas waktu kepesertaan pekerja formal atau PPU, Chazali, mengakui ada yang tidak sinkron antara roadmap yang dibuat DJSN dengan Perpres Jamkes. Dalam roadmap yang dibuat sebelum Perpres Jamkes terbit, batas waktu kepesertaan pekerja formal 1 Januari 2017. Sedangkan dalam Perpres Jamkes batas waktu pendaftaran kepesertaan 1 Januari 2015. Walau begitu ia mengakui dalam hirarki peraturan perundang-undangan, posisi Perpres lebih tinggi ketimbang payung hukum roadmap yang dibuat DJSN.
Tags:

Berita Terkait