Pemerintah Diminta Tak Paranoid Tutup Situs Berita
Berita

Pemerintah Diminta Tak Paranoid Tutup Situs Berita

Mesti ada putusan atau penetapan pengadilan sebelum melakukan pemblokiran. Korban aksi pemblokiran mesti menempuh upaya hukum.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Keterangan pemblokiran pada halaman muka hidayatullah.com. Foto: hidayatullah.com (screenshot)
Keterangan pemblokiran pada halaman muka hidayatullah.com. Foto: hidayatullah.com (screenshot)
Rencana pemerintah yang akan menutup sejumlah situs berita yang diduga mempengaruhi warga untuk ikut dalam gerakan teroris Negara Islam Irak dan Syiria (ISIS) dinilai berlebihan. Pemerintah semestinya tak bersikap paranoid. Sebaliknya, justru melakukan kajian terhadap informasi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi I Hanafi Rais di Gedung DPR, Selasa (31/3). “Jangan terlalu paranoid. Harusnya dikaji dan dipastikan kontennya apakah sesuai dengan yang dituduhkan,” ujarnya.

Pemerintah sebelum mengambil kebijakan menutup sejumlah situs berita mestinya mengumpulkan informasi dari berbagai pihak. Tak saja dari BNPT dan Kemenkominfo, tetapi juga dari pemerhati media.  Ia berharap pemerintah memblokir situs berita tepat sasaran, bukan sebaliknya memblokir situs berita tidak seperti yang dituduhkan.

Politisi Partai Amanat Nasional itu mengatakan, langkah pemerintah mengumumkan 22 situs berita bakal diblokir terkesan terburu-buru. Ia berharap pemerintah melalui Kemenkominfo tak dianggap sebagai islam phobia. Makanya, Kemenkominfo mesti berhati-hati dan teliti sebelum menempuh kebijakan memblokir sejumlah situs berita.

Terhadap persoalan tersebut, Komisi I bakal mengundang Kemenkominfo agar menjelaskan terkait kebijakan yang akan ditempuh. Rencana tersebut dijadwalkan dalam dua pekan ke depan.

Ketua Komisi VIII Saleh Partaonan Daulay berpendapat, standar dalam mengidentifikasi situs yang diduga menyebar paham radikalisasi belum ditetapkan pemerintah. Dengan tanpa standar itulah, dimungkinkan pemerintah dapat menutup situs berita dengan penilaian subyektif. Semestinya, ada aturan yang jelas mengatur standar sebuah situs berita yang dinilai menyebarkan paham radikal.

“Sebelum ditutup para pemilik situs itu mesti dipanggil dan dimintai keterangan. Jika ditemukan sesuatu yang menyimpang dan membahayakan, barulah kemudian dilakukan tindakan pemblokiran," ujarnya.

Sebaliknya, jika pemerintah memblokir situs berita dengan terburu-buru, maka dianggap negara otoriter. Pasalnya, jika saja terdapat situs berita yang berbeda pandangan dengan pemerintah dapat langsung dibungkam.

Menurutnya, tidak semua situs berita yang bakal diblokir itu menyebarkan paham radikalisme. Soalnya masih terdapat media yang benar dipergunakan untuk menyebarkan kebaikan dan dakwah. "Kalau dakwah lewat dunia maya tidak diperbolehkan, lalu apa bedanya konten dakwah dan konten judi dan pornografi yang juga diblokir?,” ujarnya.

Peneliti senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, menentang rencana pemerintah pemblokiran tersebut. Pasalnya, pemblokiran tanpa adanya perintah dari pengadilan. Ia menilai pemblokiran situs berita tanpa pengaturan yang jelas dan transparan akan berdampak besar terhadap adanya kemungkinan kesalahan melakukan pemblokiran.

"ICJR menilai bahwa jika pemerintah memandang para pengelola situs tersebut terlibat dalam tindak pidana terorisme, maka pemerintah harus membawa para pengelolanya  ke depan hukum dan pemerintah dapat meminta pemblokiran sementara sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," katanya.

Dikatakan Anggara, Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No.19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif sedang diuji di Mahkamah Agung. ICJR mendesak agar Kementerian Kominfo tidak menggunakan peraturan atau dasar hukum yang sedang diuji di Mahkamah Agung sebagai dasar untuk melakukan pemblokiran terhadap situs internet.

Ia menilai Permenkominfo No.19 Tahun 2014 tak memiliki dasar acuan undang-undang yang jelas dalam pemberian kewenangan pada Kemenkominfo untuk menilai apakah suatu situs bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. “Maka, legitimasi kewenangan menkominfo pada Permenkominfo No.19 Tahun 2014 tidak sah karena tidak berdasar,” ujarnya.

Sepanjang pengamatan ICJR, kata Anggara, pemerintah telah beberapa kali melakukan kesalahan melakukan pemblokiran. Oleh sebab itu, korban aksi pemblokiran situs oleh pemerintah agar menempuh upaya hukum. “Mengajukan gugatan perdata terhadap Menteri Komunikasi dan Informatika karena telah melakukan perbuatan melawan hukum,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, Kemenkominfo menerbitkan daftar 22 situs yang diblokir atas permintaan BNPT. Alasannya, situs-situs tersebut dinilai menyebarkan paham radikalisme.
Tags:

Berita Terkait