Soal Kebijakan BBM, Politisi PDIP Usulkan Hak Angket
Berita

Soal Kebijakan BBM, Politisi PDIP Usulkan Hak Angket

Menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar, Presiden Joko Widodo dinilai telah melanggar konstitusi.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Kebijakan pemerintah di bawah tampuk kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terkait dengan Bahan Bakar Minyak dinilai melanggar konstitusi. Mekanisme harga BBM diserahkan ke pasar merupakan bentuk penyimpangan terhadap konstitusi.

“Presiden melanggar konstitusi,” ujar mantan Menteri Koordinator Perekonomian, Kwik Kwian Gie, dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (31/3).

Kwik mengatakan, presiden sebagai pucuk pimpinan tertinggi di negara dapat dipecat. Namun, langkah memecat seorang presiden terbilang sulit. Menurutnya, presiden dapat dipecat lantaran melakukan dua hal. Pertama, melakukan tindak pidana berat. Kedua, melanggar konstitusi.

Kwik menjelaskan, Pasal 28 ayat (2) UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu, semestinya pemerintah tak menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar dunia.

Pasal 28 ayat (2) menyatakan, “harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Sebaliknya, pemerintah menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar yang mengakibatkan tidak adanya kepastian harga BBM di dalam negeri. Hal itu berdampak sistemik terhadap harga kebutuhan bahan pokok lainnya.

Menurut Kwik, menyerahkan kepada mekanisme pasar tak ubahnya negara dalam lingkaran labirin liberal. Jika negara sudah menyatakan pasal 28 UU No.22 Tahun 2001 melanggar konstitusi, kini pemerintahan Jokowi melalui Menteri ESDM Sudirman Said menyerahkan ke mekanisme pasar, sama halnya telah mengangkangi rakyat. 

“Ini pertama kali dalam sejarah harga bensin ditentukan oleh pasar. Kontitusi memang tidak menentukan harga, tapi konstitusi bicara barang yang penting dan berkaitan dengan hajat orang banyak tidak boleh diserahkan ke mekanisme pasar,” ujarnya.

Lebih lanjut, Kwik mengatakan bahwa kebijakan pemerintahan Jokowi telah menambah sengsara rakyat. Pasalnya itu tadi, dampak naik turunnya harga BBM akan beriringan dengan harga kebutuhan bahan pokok. Sementara ketika harga bahan pokok merangkak naik, tak akan mudah kembali turun dengan harga semula di saat harga BBM turun.

“Ini kah pemerintahan rakyat? Pemerintah ini adalah saudagar, objek saudagar ini adalah rakyat miskin,” ujarnya.

Senada, pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai perilaku pemerintahan Jokowi manipulatif. Menurutnya, keberanian pemerintah Jokowi memberlakukan harga BBM melalui mekanisme pasar sejak adanya UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi. Nah, di lain sisi MK telah membatalkan perihal penyerahan harga BBM ke pasar.

“Semestinya pemerintah tunduk pada konstitusi, bukan pasar. Karena ada ketidaksinkronan, maka pemerintah memanfaatkan ketidaksinkronan UU itu,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah memanfaatkan pergeseran dari subsidi energi ke barang. Ia menilai pemerintahan Jokowi mengikuti cara pandang Bank Indonesia dengan pandangan subsisi salah sasaran. Makanya, pemerintah menggunakan berbagai ‘kartu sakti’. “Ini manipulasi kedua,” ujarnya

Ketiga, ditengarai adanya biaya politik di sektor hulu. Misalnya, ketika Jokowi kampanye Pilpres menggunakan kapal. Sementara beban itu diberlakukan ke perusahaan minyak. Dikatakan Ichsanuddin, ketidakstabilan harga BBM dan bahan pokok berdampak pada politik.

“Kabinet kerja, kerja, kerja yang katanya revolusi mental itu, sedang menyulut kerusuhan politik,” katanya.

Dampak dari ketidakjelasan kebijakan Jokowi tak saja berdampak pada bidang ekonomi dan politik, tetapi juga hukum. Ia menilai, pemerintahan Jokowi ke depan tak jauh lebih baik dari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Menurutnya Jokowi tak paham dengan ekonomi global.

“Jokowi ini ngerti soal pasar uang gak sih,” ujarnya.

Anggota Komisi I Effendi Simbolon menambahkan, tak saja menabrak UU Migas, pemerintahan Jokowi pun melakukan hal sama dengan melangkahi UU Minerba. Meski berasal dari satu partai dengan Jokowi yakni PDIP, Effendi tak segan mengkritiknya.

“Inilah kelahiran presiden prematur kita. Apa ada yang mendesain beliau, semua berkiblat ke Washington, semua antek-antek penjajah. Ini kader sendiri yang dijual nawacita, apa kita membiarkan jargon-jargon kita,” ujarnya.

Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR periode 2009-2014 lalu itu menilai, Jokowi telah terpengaruh dengan lingkungan orang di sekelilingnya, sementara Jokowi minim jam terbang menghadapi persoalan nasional. Makanya, dengan begitu pengaruh liberalisasi masuk ke sendi kebijakan pemerintah. Selain itu, jika memang Jokowi melakukan sendiri dengan kebijakan tersebut, maka menjadi persoalan besar.

“Bagaimana pemangku kebijakan tertinggi tidak sesuai konstitusi. Padahal dalam kampanye dia bilang orang yang taat konstitusi. Kalau pencitraan masuk got, anda mau. Tapi kebijakan menyangkut orang banyak tidak menjelaskan sendiri,” ujarnya kesal.

Terhadap kebijakan pemerintah tersebut, Effendi akan mengusulkan digulirkannya hak angket. Meski pun partai tempatnya bernaung menjadi pendukung pemerintah, Effendi tak segan bakal maju mengusung hak angket dan menggalang dukungan. Langkah yang aka ditempuh tersebut, Effendi tak yakin mendapat dukungan dari koleganya di parlemen maupun separtai. Padahal dengan hak angket, akan diketahui tabir gelap kebijakan pemerintah, dan siapa pemain di balik kebijakan tersebut.

“Forum yang paling tepat adalah hak angket, selidik dari hulu ke hilir sampai masuk ke kebijakan liberal yang jelas bertentangan dengan konstitusi. Saya ingin membawa ke angket untuk membedah apakah benar hipotesa ini, kita ingin mencari solusi. Saya pengusul, kalau tidak ada yang mau (hak angket) berati tidak mau dibenahi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait